tiga - penuh kejutan

130 20 3
                                    

Setiap orang punya kebahagiaan masing-masing: ada yang bahagia nurani ada juga yang bahagia jasmani.

***

Pagi ini Santi bangun pagi sekali. Ia lupa bahwa hari ini adalah hari terakhirnya menjalani masa skors. Hari begitu cepat, padahal Santi sama sekali belum menikmatinya.

Septian sudah kembali bertugas ke luar kota, di rumah hanya ada Santi dan Bi Iin (pembantu yang sudah bekerja di rumah Santi sejak ia kecil) sekaligus orang yang paling mengerti dirinya.

"Non, mau makan apa?" Tanya Bi Iin pelan. Santi yang sibuk mengutak-atik ponselnya beralih menatap Iin sepersekian detik.

"Jagung bakar," jawabnya SPJ—singkat, padat, jelas.
"Nasi lah non, masa makan jagung terus." Pinta Bi Iin karena merasa khawatir dengan kesehatan Santi.
"Tidak."

Bi Iin langsung pergi begitu saja, ia takut membantah Santi yang mulai terusik. Baginya kemarahan Santi lebih menakutkan dibanding tidak di gaji selama 10 tahun.

Belum lama keluar, Bi Iin kembali masuk ke kamar Santi. Kali ini ia membawa sekotak paket berwarna biru.

"Apa lagi, bi?" Tanya Santi langsung.
"Paket, non,"
"Aku tahu kalau paket, maksudnya paket apaan?"
"Nggak tahu non, tiba-tiba tergeletak di depan pintu." Jelas Bi Iin.
"Buang!" Suruh Santi.
"Loh, kok dibuang?"
"Iya, siapa tahu isinya bom. Cepat buang!" Santi mulai panik.
Bi Iin tersenyum melihat Santi, "Non, bisa takut juga?"
"Bisalah bi, emang aku monster?!"
"Hehe, bibi buka ya?"

Santi mengangguk kepala. Tidak lama, Iin langsung membuka kotak itu, ia sempat kaget melihat isinya. Ternyata bukan bom ataupun granat.

"Bukan bom, non?" Iin kembali bersuara.
"Terus, apa?"
"Buku,"

Santi segera menarik kotak itu dari tangan Iin, ia mulai penasaran dengan apa isi didalamnya. Setelah melihat, Santi membaca secarik kertas yang diletakkan di samping buku berjudul 'Panduan Hidup' itu.

Senyum tipis tertarik dari bibir mungil Santi.

Dear, Mbak Santi yang suka ngegas.

Baca ya mbak, jangan sampai nggak dibaca bukunya!
Mbak harus tahu kalau bukan hanya sholat yang ada panduannya, tapi hidup juga ada. Dan, mbak jangan suka ngibulin orang, dosa!

Dari,
Ardinastiar

Setelah membaca surat itu, Santi jadi bingung sendiri. Beberapa pertanyaan kini menyesakki kepalanya, salah satunya: siapa sebenarnya Ardinastiar?

***

Matahari benar-benar mematikan hari ini, sinarnya panas menyengat kulit dan cahayanya menyilaukan mata. Entah mengapa matahari begitu percaya diri menampakkan dirinya di waktu yang sebenarnya belum sepenuhnya siang hari ini.

Santi berjalan sendiri di trotoar jalan samping rumahnya sambil membaca buku yang diterimanya tadi.

Lagi, lagi, dan lagi, senyum terlihat jelas di bibir Santi.

"Eh, Santi, tumben senyum?" Terdengar suara yang entah darimana asalnya. "Gue pikir mulut lo sakit kalau buat senyum!" Lanjutnya.

"Sok kenal!" Ketus Santi.
"Emang kenal, lo lupa sama gue?" Tanyanya lagi.
"Enggak," jawab Santi masih acuh tak acuh dan tak menoleh sedikitpun.
"Syukurlah, kalau gitu! Lo apa kabar?" Jawab orang itu merasa lega mendengar jawaban Santi.
"Lo kok makin SKSD sih?"
"Apaan SKSD?" Tanya orang itu bingung.
" Sok kenal sok dekat!" Tajam Santi.

Orang itu melongo melihat tingkah Santi, ia bingung sekaligus heran.

"Gue Ririn, San! Masa lo nggak ingat gue?" Jelas orang itu.
"Ririn siapa? Gue nggak kenal Ririn!"
"Temen SD lo,"
"Oh,"
"Lo ingat?"
"Nggak,"
"Okelah, gue dengar nyokap lo meninggal ya?" Tanya Ririn lagi.
Santi mendongakkan kepalanya, seperti mulai tertarik dengan obrolan itu. Namun, alih-alih bersuara, Santi justru berlari setelah melihat Ririn.

Kejadian itu kembali teringat dibenaknya, lanskap menyedihkan itu terputar kembali di ingatannya. Mengapa? Karena Santi belum benar-benar bisa mengikhlaskan segalanya. Ia hanya terus menyalahkan takdir dan terus mengutuki hidupnya yang sama sekali tidak bersalah.

Santi terus berlari sampai tidak sadar dirinya tengah berada di zebra cross, mobil lalu lalang melintas, suara klakson pun berisik bersahutan. Namun, Santi masih tidak menyadari semuanya.

Mobil sedan putih dari arah kanan tiba-tiba bergerak dengan lajunya, Santi yang masih berlari dengan perasaan setengah sadar, menyebrang tak menoleh kanan dan kiri. Hampir saja mobil itu menghantamnya, namun malaikat telah berhasil memperpanjang waktu hidupnya dengan mengirimkan penyelamat untuk Santi.

Tiba-tiba sebuah tubuh mendorong Santi hingga terhempas jauh. "Ah!" Santi mendesah keras karena pinggangnya yang membentur jalanan aspal dengan keras.

"Kamu nggak papa?" Uluran tangan menyambutnya.
"Adin?"

Ya, semua seperti telah digariskan, mereka seperti sepasang sepatu yang memang ditakdirkan untuk bertemu lagi. Lagi dan entah apa tujuannya.

"Lo ngapain nolongin gue?" Tanya Santi merasa hidupnya tengah diujung tanduk.
"Ya, karena kamu belum waktunya mati."

"Kenapa? Kenapa gue nggak mati aja sekalian, gue mau nyusul mama!" Tangis Santi pecah, ia memukul-mukul pelan tubuh Adin.
"Nggak boleh ngomong gitu, pamali!"
"Mungkin mati emang bukan pilihan yang buruk."

Santi kian terpuruk, semuanya seperti kejutan. Kejutan paling buruk seumur hidupnya, ia tidak jadi mati.

"Mbak?"
"Makasih," ucap Santi tulus.
"Untuk?"
"Semua. Semua yang terjadi selama pertemuan kita."
"Tidak usah berterima kasih,"
"Kenapa?"
"Karena saya bahagia melakukannya."

Mereka akhirnya mulai akrab satu sama lain, mereka mulai saling mengenal dan saling memahami. Di saksikan rumput-rumput jalanan dan bangku trotoar yang sudah usang, ini adalah kali pertama Santi merasa nyaman kepada seseorang yang baru dikenalnya semenjak kejadian 8 tahun silam.

"Mau pergi?" Tanya Adin.
"Tunggu!" Tahan Santi.

Sepertinya Santi sudah kembali seperti semula.

Adin menoleh. "Lo yang ngirim buku ini?" Tanya Santi sambil mengangkat buku yang masih digenggamnya.

"Kalau iya, kenapa?"
"Emang hidup ada panduannya?"
"Selain tukang marah-marah ternyata kamu tidak bisa baca juga." Jawab Adin serius.
"Oh, gitu!"
Adin terkekeh melihat mulut Santi yang monyong ke depan.

"Penuh kejutan," ucap Santi lirih.
"Saya? Jelaslah, Ardinastiar."
"Bukan, tapi hidup."

Mereka berdua berjalan menapaki jalan setempat, entah kemana tujuannya yang penting mereka jalan saja. Sambil bergurau, Santi dan Adin terus melangkahkan kakinya.

"Kamu nggak sekolah?" Tanya Santi.
"Kaya nggak ada pertanyaan lagi saja, itu terus yang ditanyakan!"
"Tinggal jawab!"
"Libur."

Hah! Santi tidak menyangka bahwa ternyata hari ini adalah hari libur. Saking sibuknya berbaring di kasur, sampai hari ini pun ia tidak mengingatnya. Jatah skors-nya sudah habis, besok ia harus kembali sekolah seperti biasa. Persetan! Bertemu orang-orang itu lagi, guru yang membosankan, dan pelajaran yang sama sekali tidak penting dan tidak ada gunanya. Baru beberapa hari ia merasakan kehidupan yang sesungguhnya, besok ia harus sudah kembali lagi menjadi Santi yang selalu membohongi kenyataan dan Santi yang berpura-pura menjadi orang lain.

Setelah lama berjalan, mereka berdua sampai ditempat yang dituju, tempat yang sangat indah sekali.

"Sempurna," kata Santi jujur.
"Apa yang sempurna?" Tanya Adin mencoba tak mengerti.

"Orang gila yang berdiri di sebelah gue." Santi melenggang ke depan kemudian meninggalkan Adin yang masih menganga tak percaya mendengar jawabannya.

***

Note:
Update setelah UNBK!

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang