tiga puluh tujuh - surat dari adin

57 11 6
                                    

A/n : Multimedia lagi!

Kita hanya lihat apa yang terlihat, hanya tahu apa yang di beri tahu, dan hanya dengar apa yang diucapkan. Berhenti menyimpulkan.

***

"Gue nggak boleh masuk nih?" Tanya Liam kala menginjakkan kaki di rumah Santi.
"Nggak! Sekarang lo pulang!"
"Dasar jahat, gue mau kasih martabak ini ke Om Septian!" Liam masih bersikukuh untuk masuk ke rumah Santi. Ia tidak peduli meskipun Santi terus melarangnya. Cowok itu memaksa masuk ke rumah Santi.

Santi hanya geleng-geleng kepala melihat aksi Liam. Ia mengikuti Liam yang lebih dulu masuk ke rumahnya.

"Assalamualaikum...malam, om," Salam hangat sekaligus sapa Liam kala melihat Septian tengah duduk menghadap TV.
"Waalaikumsalam, Liam, apa kabar?"

Liam menyalami tangan Septian kemudian duduk di samping lelaki paruh baya itu.

"Baik, om sendiri?"
"Ya, gini-gini aja!...kamu bawa apa itu?"
"Oh, ini?" Liam mengangkat martabak yang dibelinya tadi. "Martabak rasa keju kesukaan om!" Liam memberikan martabak itu pada Septian.

Septian menerimanya. "Makasih, lain kali kalau kesini nggak usah bawa apa-apa!"

"Ehem!" Santi berdeham menyadari kalau keberadaannya tidak dianggap.

"Eh-ternyata anak ayah masih berdiri di sini, mau gantiin patung pancoran?" Canda Septian.

"Santi, mandi dulu, yah." Ujar Santi kemudian meninggalkan dua lelaki yang tengah asik mengobrol itu.

Septian menatap lekat ke arah Liam.
"Yam..."
"Iya, om?"
"Kamu beneran suka sama Santi?"

Cowok itu mengangguk-angguk pelan. "Bukan hanya suka om, tapi cinta!"
"Bagus kalau begitu...om berharap kamu lebih sabar menghadapi Santi, ya," Septian menghela napas panjang. "Jangan pernah buat dia kecewa dan jangan pernah sakitin dia, ya?"

Liam mengangguk lagi. "Pasti om, Liam bakal setia jagain Santi dan selalu siap kapanpun Santi butuhkan."

"Om percaya sama kamu, jangan pernah mengecewakan om!"

"Siap, om!" Liam mengangkat tangannya di samping pelipis seolah-olah tengah memberikan hormat. "Kalau gitu saya pamit, ya, om!"

***

Dengan kaos merah lengan panjang dan celana training, Santi tampak lebih segar. Rambutnya di biarkan tergerai karena masih basah oleh air, membuat penampilannya semakin manis. Gadis itu menemui ayahnya yang masih sibuk menonton acara bola.

"William udah pulang, yah?" Tanyanya sembari mengambil posisi duduk disebelah kiri Septian.
"Sudah, kenapa?"
"Cuma tanya."

Santi melirik jam yang menempel di dinding. Dua jarum yang ada didalam jam itu menunjukkan angka 7 dan 6. Baru jam setengah delapan, tapi rasa kantuk sudah menyeruak masuk ke jiwanya. Mungkin kecapekan membuat rasa kantuknya lebih cepat datang. Beberapa kali Santi menguap pelan.

Cewek itu sesekali menatap tayangan televisi yang membosankan itu. Tayangan yang membosankan namun sangat digemari oleh bapak-bapak, apalagi kalau bukan sepak bola.

"San..."
"Kenapa, yah?"

Septian memberikan sebuah amplop cokelat kepada Santi.

"Apa ini, ayah?"
"Baca sendiri," setelah mendengar interupsi dari Septian, Santi pelan-pelan membuka surat itu.
"Jangan disini! Baca dikamar!" Cegah Septian. Isi dari amplop itu belum sepenuhnya keluar. Buru-buru Santi memasukan kembali surat itu dan bergegas menuju kamarnya.

***

Santi memandangi boneka ayam yang terpajang tegak di atas nakas kamarnya. Boneka ayam pemberian Ardinastiar kala itu, kini tengah berdiri menghadap Santi. Air matanya tiba-tiba jatuh, entah mengapa sekelebat kenangan itu tiba-tiba menyusupi pikirannya. Kenangannya bersama Adin, tiba-tiba terlintas tanpa sepengetahuannya setelah memandang boneka kecil itu.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang