A/n : putar multimedia-nya!
Kenangan itu disimpan, jangan dilupakan sekalipun itu menyakitkan. Karena kenangan itu tidak akan bisa dihapuskan apalagi di hilangkan.
***
Jakarta, 18 Juli 2008 (sepuluh tahun silam)
Pagi ini matahari belum sepenuhnya nampak. Awan kelabu yang pekat tiba-tiba menyelimuti langit yang semula cerah. Santi kecil merengek kedinginan. Ia menarik paksa selimut yang dipakai Mira—ibunya—hingga Mira terbangun tiba-tiba.
"Santi, jangan tarik-tarik mama sayang!"
"Santi narik selimut ma, bukan narik mama,"
"Kamu kenapa?" Mira bangun dari tidurnya kemudian memandang ke arah Santi.
"Dingin,"
Mira menyentuh dahi Santi dengan punggung tangannya. Benar, anaknya demam."Kita ke dokter ya sayang," ajak Mira.
"Nggak mau, dokter jahat, suka pakai suntik!"
"Loh, itukan biar cepat sembuh...mau ya sayang!" Mira masih terus memaksa.
"Santi nggak boleh gitu, dokter pakai suntik itu biar sembuh."Alasan kenapa Santi membenci dokter adalah karena di sekolah SD-nya sering diadakan imunisasi campak sehingga harus disuntik satu persatu. Ia juga benci disuntik, karena setiap disuntik ia pasti menangis dengan keras.
"Santi, mau ke dokter sama ayah!" Pinta Santi yakin. Ia tahu ayahnya tidak akan bisa karena ayahnya sedang bertugas di luar kota.
"Bagaimana kalau nasi jagung plus es serut?" Bujuk Mira.
"Nasi jagungnya siapa?"
"Mbak Marni sama es serutnya Mang Udin. Gimana? Yakin nolak?"
"Tiga piring?" Tawar Santi.
"Lima piring!"
"Oke, deal!"Akhirnya Santi mau dibujuk diajak ke dokter. Bujukan nasi jagung dan es serut berhasil meluluhkan Santi. Memang dari dulu kesukaannya adalah nasi jagung dan serut. Bahkan, saat mengandung Santi pun Mira selalu ngidam makan nasi jagung dan es serut, padahal sebelumnya ia sangat tidak suka dengan makanan itu.
***
Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan pagi yang masih sepi. Saat ini pohon-pohon masih menjulang tinggi dan asri. Suasana masih sangat segar dan belum tercemar sama sekali. Hal itulah yang membuat Mira selalu ingin berjalan-jalan dengan Santi.
Mira memilih berjalan kaki bersama Santi karena jarak puskemas dari rumahnya tidak terlalu jauh dan lagipula jalan kaki menyehatkan bukan?
"San, besok kamu kan ulang tahun, kamu mau hadiah apa?" Tanya Mira.
Santi kecil menghirup udara segar. "Aku mau nonton film kartun bareng mama sama ayah seharian."
Permintaan mulia dari seorang anak kecil. Permintaan yang sangat sederhana pula. Mungkin yang didambakan Santi sama dengan anak-anak pada umumnya. Yaitu, menonton TV bersama keluarga, bermain dan berlarian sepanjang hari di taman kota, makan selalu bersama, dan bercerita tentang banyak hal. Apalagi kalau bukan itu, tidak mungkin anak kecil kelas satu SD sudah berpikiran tentang cinta, bukan? Yang ada dipikiran mereka hanya main, main, dan makan.
Sungguh masa kecil yang menyenangkan. Tidak mengenal cinta, tidak mengenal luka. Yang kita tahu hanya menangis karena balon yang pecah, bukan hati yang patah. Merengek karena tidak dibelikan mainan, bukan perihnya dijadikan barang mainan. Dan marah saat tidak dibelikan barang, bukan nyerinya ditinggalkan waktu sayang-sayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ardinastiar
Teen Fiction(SELESAI) Santi dan Adin hanya manusia biasa. Mereka tidak bisa memilih bagaimana kisah mereka dimulai, berjalan, kemudian berakhir. Yang mereka tahu, takdir tidak pernah main-main. [2018]