dua puluh satu - neraka buatan

63 14 1
                                    

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari hinaannya orang yang kita kenal.

***

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Santi baru saja sampai dirumahnya setelah tadi pagi keluar.

Santi memanggil-manggil nama Bi Iin berulang kali tapi tak ada jawaban yang menyahutinya.

"Iya, non!" Ujar Bi Iin sembari berlari menghampiri Santi. "Maaf non, tadi bibi nyiram tanaman di belakang, jadi nggak dengar,"

"Bi, kenapa bibi nggak ngomong kalau hari ini libur?"
"Mau dibilangin, non udah kabur duluan."
"Ya, tahan atau apa gitu?"
"Non sendiri kan tahu, kalau Non Santi di tahan nanti tambah berontak."
"Bibi nggak ada perjuangan banget sih!"
"Emang kemerdekaan non, pakai perjuangan segala?"

Santi kesal sendiri kemudian ia beranjak dari ruang tamu menuju teras.

"Non, nggak ganti baju dulu?" Tanya Bi Iin.
"Nggak!"

Tiba-tiba sebuah Line masuk.

Ardinastiar

Maaf baru balas, di sana susah sinyal.

Siapa?

Yang nanya!

Bukan, lo itu siapa?

Margaret

Ihh, nggak usah bawa-bawa nama itu dong, gue khilaf aja kemarin.

Khilaf atau kangen?

Kalau kangen bilang aja, kalau pengen ketemu juga bilang aja. Nggak usah malu!

Lo bukan Adin ya?

Kenapa?

Kok tumben nggak formal ngomongnya? Adin kalau ngomong itu formal banget!

Ya sudah.

Mbak kalau kangen bilang saja, kalau ingin bertemu juga bilang saja. Tidak usah malu!

Apaan?

Adin hanya membaca pesan Santi yang terakhir.

Benar, just read mengajarkan kita kalau tidak semua membutuhkan jawaban.

Din, lo percaya kalau foto itu bukan gue kan?

Kan kemarin jawabannya udah.

Mau jawaban lagi!

Percaya

Kok percaya?

Percaya kalau bukan kamu, sayang.

Bunga-bunga di hati Santi kian bermekaran. Kupu-kupu juga ikut berterbangan dalam tubuhnya. Ia kebingungan ingin merespon apa pesan Adin itu.

Maaf typo, maksudnya Santi.

Sialan!

Santi beranjak dari kursi teras. Ia bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan diri lalu melanjutkannya dengan tidur sampai pagi.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang