A/n : putar multimedia-nya!
Jiwa yang jauh membuat kita menjadi orang asing padahal raga kita dekat.
***
'Santi mau kan janji sama mama, kalau Santi bakal jadi orang paling ceria selamanya.'
Ucapan Mira kembali terngiang di kepala Santi. Kontan saja ia membuka matanya lebar-lebar, ritme jantungnya tak beraturan, napasnya pun tersengal-sengal. Santi kebingungan, di mana ini? Ia menatap dinding dan atap penuh nuansa putih itu dengan tatapan heran.
Liam? Untuk apa cowok ini disini?
Santi baru menyadari bahwa tangan Liam mendekapnya. Ia mencoba melepaskan tangan itu namun tenaganya tidak cukup kuat.
"Liam, bangun..." Santi menepuk-nepuk pipi Liam yang menempel di bed cover-nya.
Cowok itu membelalakkan matanya. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, jadi ia masih melongo seperti orang kebingungan.
"Eh, udah bangun San?" Liam mengangkat tangannya yang semula mendekap Santi. "Maaf, soalnya tadi lo kehujanan jadi gue peluk biar hangat."
Santi menatap sayu. "No problem,"
Liam tersenyum lega.
"AAAA!" Pekik Santi menyadari pakaian sudah berganti menjadi pakaian rumah sakit.
"Why?"
"Lo yang ganti pakaian gue? Oh my God, gue jijik sama diri gue sendiri,"
"Bukan, tadi suster yang gantiin," Liam membetulkan persepsi Santi.
"Really? Lo lihat?"
"Kalau boleh sih gue pengen lihat, tapi sama suster di suruh keluar,"
"Kurang ajar!" Santi menoyor pelan jidat Liam.Suara hentakan kaki terdengar keras dari lobi rumah sakit. Suara saling berkejaran itu ikut memekakkan telinga Santi.
"Ririn dan...ayah?" Suara Santi tiba-tiba. Ia kaget melihat kehadiran Septian yang berlari dibelakang Ririn.
"Santi, kamu kenapa sayang?" Tanya Septian cepat-cepat.
"Iya San, tahu gini gue kejar lo tadi!" Sahut Ririn.
"Santai aja Rin, gue baik kok!" Jawab Santi. "Anda ngapain kesini? Sejak kapan saya lebih penting dari pekerjaan anda?"
"San, kamu penting, kamu sangat penting bagi ayah,"
"Sejak kapan orang bodoh jadi orang penting?"
"Maafin ayah, ayah nggak bermaksud begitu,"
"Keluar!" Titah Santi.
"Tapi San—"
"KELUAR!!!!" Teriak Santi lagi, kali ini lebih keras. "Jangan pernah menampakkan wujud anda di depan saya!"Septian tahu sifat Santi. Ia tidak mau memaksa ataupun mengemis, karena Santi tidak akan mudah mengubah keputusannya. Ia menuruti saja permintaan anak semata wayangnya.
"San, lo nggak boleh begitu!"
"Kenapa Rin?"
"Dia bokap lo dan cuma Om Septian keluarga lo,"
"Orang yang bikin gue tertekan masih bisa disebut keluarga?"
"Iya, bagaimanapun cuma keluarga yang tidak akan pernah meninggalkan kita."
"Kalian?"
"Lo tahu kan apa yang datang pasti akan pergi? Tapi itu tidak berlaku untuk keluarga!" Jeda Ririn. "Sekalipun dunia menjauh, cuma keluarga yang tidak akan pergi. Mereka adalah pendukung sejati tanpa bayaran dan mereka penolong terbaik tanpa imbalan."Santi masih terdiam.
"Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, kadang cara merekalah yang tidak benar." Timpal Liam.
"Belajarlah mengikhlaskan semua yang telah pergi, coba buka mata dan jalani apa yang selanjutnya terjadi."
"Iya San, lo cuma takut dengan keadaan, lo hanya butuh memperbaikinya satu persatu!" Tambah Ririn lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ardinastiar
Teen Fiction(SELESAI) Santi dan Adin hanya manusia biasa. Mereka tidak bisa memilih bagaimana kisah mereka dimulai, berjalan, kemudian berakhir. Yang mereka tahu, takdir tidak pernah main-main. [2018]