lima belas - realistis

83 15 0
                                    

A/n : Part ini nggak terlalu penting sih, tapi nggak main-main juga.

Uang memang bukan segalanya. Tapi balik lagi, segalanya butuh uang.

***

Bel istirahat kedua berbunyi. Santi menatap buku tulisnya yang kosong. Ia teringat oleh pensil yang diberikan Adin saat kejadian kemarin.

"San, woy! Ngelamun aja, ayo ke kantin!" Ujar Ririn membuyarkan lamunan Santi.

Santi mendengus kesal. "Duluan aja lo, gue nitip air mineral!"
"Dingin atau biasa?"
"Biasa."

Ririn tak kunjung berjalan menuju kantin. Cewek itu masih berdiri kokoh dihadapan Santi.

"Masih ngapain lo disini?" Tanya Santi mulai risih. "Gue nggak ikut Ririn!"
"Idih, duit kali!"
"Duit? Katanya lo YouTubers terkenal, dasar miskin lo!" Santi memberikan uang lima ribuan ke Ririn.
"Lima ribu? Sepuluh ribu dong!" Tawar Ririn.
"Lo udah miskin, ngemis pula, dasar human!" Ketus Santi.

Mungkin kata-kata itu sedikit kasar dan menyinggung. Tapi Ririn sudah mulai bisa memaklumi sikap Santi yang telah berubah menjadi ketus dan pemarah seperti ini.

"Iya, bawel!" Ririn berjalan meninggalkan Santi kesal.

Santi mulai membuka lembar buku kosong itu. Tangannya bergerak maju mundur menuliskan kata demi kata yang dirangkainya menjadi kalimat. Ini baru pertama kalinya Santi menulis sesuatu yang bukan bagian dari pelajaran sekolahnya.

Dikala sinar matahari mulai redup,
Aku kebingungan mencari cahaya.
Dikala malam mulai menyapa,
Aku menunduk pelan sambil memejamkan mata.

Kamu datang tanpa alasan,
Meyakinkanku bahwa hidup tak selamanya tentang gelap,
Memberikan kejelasan tentang hidup yang tak melulu tentang kesedihan,
Dan kamu juga mengajariku bahwa tak sepenuhnya hidup itu membosankan.

Kamu merombakku dari kertas kosong menjadi kertas penuh warna. Dengan tawamu yang selalu sahaja, dengan hadirmu yang selalu tiba-tiba, dan dengan kejutanmu yang tak dibisa dinalar oleh kepala. Aku rindu. Rindu, sangat rindu.

Aku percaya kalau setiap temu akan pisah dan setiap singgah pasti akan enyah. Tapi aku belum siap, aku belum siap kehilanganmu.

Santi mengakhiri tulisannya. Ia mencoret kasar seluruh isi tulisan itu hingga samar-samar terbaca.

Ia merutuki dirinya, kenapa dirinya menjadi seperti ini? Kenapa? Perasaannya gundah, ia tidak siap dengan prasangka-prasangka buruk yang diciptakannya sendiri.

"Sejak kapan seorang cewek freak kaya lo jadi dramatis gini?" Ucap nyinyir Wiwik dari belakang Santi. Suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Santi tidak menyadari kalau sedari tadi ada yang mengamatinya.

"Sini!" Wiwik merebut paksa buku itu dari hadapan Santi dengan kasar. Santi yang tidak terima kemudian merebut paksa kembali buku itu. Ia juga tak segan menampar pipi mulus Wiwik.

"Dari kemarin lo kok nyari gara-gara terus sih? Lo ada masalah apa sama gue?" Tanya Santi. "Pakai nyindir di sosmed segala lagi, sini kalau berani ngomong depan muka gue!"

Tentu saja Wiwik tidak takut. Ia langsung mendekatkan wajahnya didepan wajah Santi. Dekat, sangat dekat hingga setiap gerakan mulut Wiwik tertangkap jelas oleh mata Santi.

Wiwik memegang dagu Santi. "Lo itu yah, idealisme, individualisme, tukang ngamuk dan nggak mau diajak kelompok. Dasar monster!" Ujar Wiwik penuh penekanan.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang