Yang terjadi selalu tidak sesuai dengan apa yang diprediksi.
***
Santi menghela napas panjang. Ia kembali mengeluarkan suaranya. "Lo bukan sih yang kirim surat ini?" Tanyanya mengeluarkan surat yang di terimanya tadi pagi. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.
"Bukan."
"Bener?"
"Iya."
"Yakin?"
"Banget."
Santi mendesis kesal. "Gue yakin banget ini lo, cuma lo yang kenal gue Ardinastiar!"
"Kalau sekedar yakin saja nggak cukup buat jadi barang bukti."Ini benar di luar prediksi, bagaimana Santi bisa salah memberikan pendapat? Ini adalah kali pertamanya Santi tidak memenangkan sebuah perdebatan.
"Gue yakin itu lo, Adin! Lo jujur aja kenapa sih?" Santi semakin sebal.
"Bukan saya,"
"Terus siapa?" Tanya Santi entah kepada siapa.
"Sang Dewa dari Planet Mars." Ujar Adin lantang sambil mengangkat segelas es teh yang ada di depannya.
"Gila lo ya!"Adin menurunkan gelasnya, ia menyadari banyak sorot mata yang menatapnya tidak suka.
"Kamu percaya?" Tanya Adin.
"Ya." jawab Santi ogah-ogahan.
"Kamu pikir ada orang ajaib selain saya?" Ujar Adin percaya diri.
"Ada,"
"Siapa?"
"Tuhan."
"Tuhan bukan manusia,"
"Udah Din, lo emang yang paling ajain dari Planet Mars!" Santi melengos, ia enggan memandang Adin."Iya, saya," Adin bicara lagi.
"Kenapa?" Tanya Santi.
"Yang kirim surat itu!"
"Apa nggak dengar?" Santi pura-pura tidak mendengar."Demi Planet Mars yang entah berwarna apa, saya pahlawan bernama Ardinastiar adalah orang yang mengirim surat pada alien pluto bernama Santi. Sudah dengar?" Adin berteriak sambil berdiri. Sungguh ini adalah hal paling memalukan. Mata-mata memandang mereka berdua aneh.
"Lo kok kenal Bima?"
"Saya kenal dengan siapapun yang mengenalmu."Ya, bukan Ardinastiar kalau tidak memberikan jawaban ajaibnya.
Santi mulai malu dengan tingkah konyol dan kekanak-kanakan milik Adin. Tapi, di satu sisi Santi sangat bahagia bisa selalu di dekatnya.
"Orang sensitif paling cocok temenan sama orang gila!"
"Iya, mana temenannya sama bocah ingusan lagi. Jijik tau nggak sih!"
"Siapa sih tuh, anak pungut darimana?"Terdengar suara gunjingan dari mulut-mulut iri yang membuat telinga Santi panas. Ia bisa terima kalau seandainya hanya dirinya yang dihina. Tapi kali ini Adin, Ardinastiar orang penuh kejutan yang masuk dan membuat hidupnya kembali bahagia dihina oleh mulut sampah tak berpendidikan. Santi tidak bisa terima dan tinggal diam.
"Jangan, Mbak, biarkan saja." Tahan Adin memegang tangan Santi yang terkepal erat. Otot-otot tangannya sedikit demi sedikit terlihat. Mata Santi memanas dan ia kehilangan kendali.
Brak! Santi menendang meja tempat cowok dan beberapa cewek yang menghinanya tadi. Seluruh benda yang berada di atas meja itu jatuh terpelanting ke lantai. Adin mencoba menahan namun kobaran api di mata Santi kian terlihat dan semakin tak terkendali.
"Jangan banyak bacot lo, banci!" Ucap Santi keras diiringi pukulan yang sangat kuat. Ia memukul mulut cowok itu hingga mengeluarkan darah segar.
"Sabar, San!" Ucap cewek berambut sebahu dengan kacamata tebal. Cewek itu mencoba melerai, namun ia justru mendapat picingan mata dari Santi."Pergi atau gue pukul lo sekarang!" Ancam Santi. Cewek itu tidak bergerak dari tempatnya, ia masih kokoh pada pendiriannya: ingin melerai Santi.
"PERGI!" teriak Santi semakin brutal. Ia membanting apapun yang ada di sebelahnya. Ia benar-benar kehilangan dirinya sendiri.
"MBAK!!" Merasa panggilannya tidak digubris, Adin menarik lengan Santi paksa sambil berjalan menjauhi kantin.
Cowok yang dipukulnya tadi belum melawan apapun. Ia masih terpaku merasakan nyeri yang di alami bibirnya.
"Ingat ya, Adin nggak seperti yang kalian bicarakan. Dia baik dan lo bakal...lo bakal menjemput maut kalau sampai gue dengar ucapan kaya lo tadi!" Ujar Santi sembari menunjuk cowok tersebut tepat di wajahnya. Santi memberikan peringatan nyata sebelum dirinya benar-benar pergi.
Segitunya kamu bela saya Mbak Santi, apa kamu akan terus seperti ini? Batin Adin.
***
Matahari mulai tampak jelas cahayanya. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh siang. Adin dan Santi duduk di pohon beringin belakang sekolah.
"Ada yang sakit?" Tanya Adin ketika Santi mulai tenang.
"Seharusnya lo tadi nggak bawa gue kesini, seharusnya mereka tadi babak belur karena gue. Kenapa Din? Kenapa lo nggak biarin gue?" Santi merutuki dirinya sendiri."Karena saya nggak pengen kamu terluka, saya mau semuanya baik-baik saja ketika ada saya."
"Semuanya akan baik, kalau orang macam mereka lenyap dari dunia ini!" Ketus Santi.
"Ah, mbak berlebihan," Adin menjeda ucapannya. "Saya tidak perlu dibela seperti itu, saya nggak pantas!""Kenapa tidak, lo baik dan lo mau berteman sama gue!"
"Emang kita berteman?" Tanya Adin.
"Wah, Anjay lo!" Santi menoyor kepala Adin.
"Bercanda, sayang!"Sayang? Adin memanggilnya sayang? Pipi Santi memerah seketika.
"Apa?"
"Setan!"
"Wah, lo makin kurang ajar kesini!""Kadang kita perlu kurang ajar untuk bisa tahu orang itu baik atau nggak. Apa orang itu bakal marah atau justru senang karena kita kurang ajar."
"Kalau orang itu nggak marah?" Tanya Santi.
"Ya, berarti dia sayang!" Jawab Adin.Adin menatap jam tangannya sebentar. Sepertinya lombanya akan segera dimulai.
"Mbak, aku ke aula dulu ya, mau lomba," Pamit Adin. "Mbak nonton yuk?"
"Malas, gue benci keramaian!"
"Oh iya ya, mbak kan idealisme!"Santi hanya tersenyum mendengar ucapan Adin.
"Jangan sedih, harus semangat!" Adin menyemangati namun tidak di respon Santi.
"Perjuangan yang sesungguhnya adalah ketika kita di hadapkan dengan dua pilihan yang sama pentingnya. Kita tidak bisa memilih salah satu karena kita butuh keduanya.
"Kita harus benar-benar memutuskan. Apa yang kita pilih hari ini tidak boleh jadi penyesalan di kemudian hari.
"Saat apa yang kita pilih tidak sesuai, kita terus menyesal dan berharap ada kesempatan kedua lagi. Itulah manusia tidak pernah puas dan selalu merasa kurang. Tidak pernah bersyukur." Adin mengakhiri ucapannya. Entah ada angin apa ia mengatakan itu semua.
"Udah? Unfaedah banget, tau gak sih lo? Yang lo omongin nggak ada hubungannya sama gue!" Ketus Santi.
Adin mengangguk."Memang bukan buat Mbak Santi!" Adin menjulurkan lidahnya kemudian benar-benar berlalu.
***
Di Aula, SMA Bakti Negara.
Hari ini adalah hari lomba cipta puisi tingkat kota SMP sederajat. Seluruh sekolah yang ada di Jakarta Selatan, mengirimkan satu peserta untuk di lombakan di sini. Siswa yang terpilih adalah siswa yang telah memenangkan seleksi di sekolahnya masing-masing sehingga mereka sudah menjadi yang terbaik di sekolahnya.
Dari dulu memang SMA Bakti Negara yang selalu terpilih untuk menjadi tempat diadakannya lomba. Selain halaman sekolah yang luas, SMA Bakti Negara juga banyak menyabet gelar salah satu sekolah sastra terbaik di kota Jakarta.
"Untuk peserta silahkan memakai nomor yang telah di ambil tadi pagi. Sambil menunggu giliran di panggil, kalian boleh mempersiapkan diri di tempat yang sudah disediakan panitia!" Intruksi seorang MC yang berada di atas panggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ardinastiar
Teen Fiction(SELESAI) Santi dan Adin hanya manusia biasa. Mereka tidak bisa memilih bagaimana kisah mereka dimulai, berjalan, kemudian berakhir. Yang mereka tahu, takdir tidak pernah main-main. [2018]