tiga puluh delapan - dia datang

49 12 2
                                    

Kedatangan yang paling ditunggu adalah kedatangannya kebahagiaan.

***

"Halo, San, jalan yuk!" Ujar Liam dari balik telepon. Pagi-pagi buta cowok itu sudah menelepon Santi saja.

"Kali ini gue nggak bakal beliin lo bunga sama cokelat...lo senang kan?" Liam kembali bersuara dan masih tidak ada sahutan. Santi belum mengucap sepatah katapun.

"San..."

"Gimana, Yam?" Suara parau Santi baru menyahutinya. Gadis itu menyeka sisa-sisa air matanya.

"Lo habis nangis ya?" Tanya Liam langsung.

"Enggak, kok, enggak!"

"Bohong...gue ke rumah lo sekarang!"

Matahari pagi mulai bersinar dengan teriknya. Tidak lama setelah obrolan itu, Liam sampai ke rumah Santi.

Liam yang melihat Septian tengah duduk santai di teras rumah langsung menyalaminya dan menanyai keberadaan Santi.

Liam langsung bergegas masuk ke rumah Santi kala tahu dimana keberadaan gadis itu. Liam kaget setelah melihat Santi yang benar-benar berantakan...matanya sembab, rambutnya acak-acakan, dan air matanya terus mengalir.

"Lo kenapa San?" Tanya Liam memastikan.
"Gue nggak papa,"
"Bohong! Lo sebenarnya anggap gue pacar nggak sih? Kayanya lo nggak mau berbagi cerita apapun sama gue!"

Tangis Santi semakin pecah mendengar ucapan Liam. Ia tidak bisa mengontrol kesedihannya. Ucapan Liam baru saja menohoknya.

"Bukan gitu, Yam, gue mau cerita tapi gue nggak tahu harus mulai ceritanya darimana," Suara Santi terdengar lirih tak berdaya. Ada air mata yang terus mengaliri pipinya.

"Terus gimana? Kalau mau cerita, cerita aja dari yang lo mau ceritain!" Bentak Liam.

Santi masih bungkam seribu bahasa. Ia mengambil remasan kertas yang dilemparnya semalam ke kolong tempat tidur dan memberikan remasan kertas itu kepada Liam. "Surat dari Adin."

Liam membaca surat itu dengan seksama. Setiap kata demi kata dicermati nya tanpa terlewat satu katapun. Sekarang ia mengerti, mengapa Santi menangis seperti ini. Ada luka tak kasat mata yang tiba-tiba datang melanda.

"San, maafin gue, gue nggak bermaksud bentak lo," Nada Liam mulai melirih. "Gue cuma mau ngelakuin sesuatu yang pengen gue lakuin."

"Gue ngerti, kok."

Liam menghela napas panjang kemudian mengucapkan sesuatu. "Gue harus berterima kasih sama Adin karena dia yang udah membuat kita dekat seperti ini...dia yang membuat gue ngerti semua tentang lo."

Santi menghentikan isakkan tangisnya sejenak. Ada obrolan yang tiba-tiba mengambil alih perhatiannya.

"Maksud lo apa?"
"Adin yang ngenalin gue sama lo,"

Santi masih tidak mengerti apa yang di katakan Liam.

"Iya, Adin yang cerita semua tentang lo sampai gue berniat pindah sekolah ke SMA Bakti Negara untuk mengenal lo lebih jauh."
"Jadi lo pindah sekolah karena ingin kenal gue?"
"Iya, awalnya ingin kenal tapi lama-lama ingin memiliki. Gue jatuh cinta sama lo saat pertemuan kita pertama kali!"

Santi berpikir sejenak. Santi teringat kejadian di panti asuhan waktu itu disaat Liam memanggil nama Adin begitupun sebaliknya. Ternyata Adin dan Liam itu sudah saling kenal, pantas saja waktu pertemuan di panti asuhan mereka seperti tidak asing.

"Lo sudah kenal Adin berapa lama?"
"Setahun kayanya, pas Adin itu kerja kelompok di rumah gue sama teman-temannya."
"Terus kapan Adin itu cerita tentang gue?"
"Sehari sebelum gue pindah sekolah,"
"Gila lo ya!" Santi menoyor kepala Liam. "Cuma karena cerita lo pindah sekolah? Nggak waras otak lo!"
"Tapi feeling gue benar kan? Kita jadian."

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang