dua puluh - ragu

53 14 0
                                    

Rasa ragu muncul karena kamu tidak yakin dengan pilihanmu.

***

"Tergantung?" Ucapan Santi mulai meninggi. "Maksud lo apa?"
"Saya bakal pergi kalau mbak sendiri yang nyuruh saya pergi."
"Kalau gue nggak nyuruh?"
"Ya, saya nggak pergi."

Santi senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Adin. Ia tidak menyangka kalau Adin akan memberikan jawaban seperti itu.

"Kenapa senyum?" Tanya Adin polos.
"Ya sudah, gue judes lagi aja!" Santi menampilkan raut wajah marah sambil melipat tangannya di dada.
"Jangan, mbak cantik kalau senyum,"
"Lo kok jago gombal sih?"
"Oh iya, kemarin di sekolah ada yang nyari-nyari saya, bilangnya Margaret, Mbak Santi kenal Margaret?"

Jedar! Ucapan itu seperti menembak dirinya. Santi gelagapan. Ia bingung harus menjawab apa, karena Margaret itu adalah dirinya.

"Kenapa nanya gitu?" Santi balik bertanya.
"Ada yang kangen sama saya tapi gengsi mau ngaku,"
"Siapa?"
"Margaret,"

Santi sangat yakin kalau Adin sudah mengetahui semuanya. Bagaimana tidak, sedari tadi Adin terus menyudutkannya.

"Udahlah, makan dulu aja!" Santi menatap bakso yang tadi dipesannya.

Tadi Adin mengajak Santi ke warung bakso langganannya : bakso super yang ada di sebelah taman kota. Setelah memesan, mereka tak kunjung memakan baksonya. Mereka malah keasikan mengobrol.

"Adin," sapa seseorang dari belakang Santi. Kontan saja ia menoleh mencari sumber suara. "Kak Margaret?"

Hah!? Cewek sialan kemarin! Terbongkar sudah penyamaran gue!

Cewek itu adalah Devina, gadis menyebalkan yang ditemuinya kemarin.

Santi menunduk ia sangat malu sekali sekarang.

"Kak Margaret udah lama?" Tanya Devina sok asik. "Aku boleh gabung?"

Adin mengangguk. "Saya sama Margaret baru aja sampai," tutur Adin.

Sial! Adin semakin memperjelasnya.

Tidak ada percakapan antara Devina, Adin, dan Santi. Setelah Devina memesan, mereka bertiga melahap baksonya masing-masing.

"Lo ngapain sih disini?" Tanya Santi ketus. Ia sangat tidak menyukai kehadiran Devina.
"Inikan bakso umum kak, siapa aja boleh kesini,"
"Ya, nggak harus duduk bertiga juga kan? Lo kayak parasit tau nggak?"
"Adin aja nggak masalah, kakak kok sewot sih?" Nada suara Devina mulai meninggi. Entah mengapa Santi semakin membencinya.

"Nggak usah belagu, lo!"
"Enggak, b aja! Kakak mungkin yang terlalu posesif!" Devina menjeda ucapannya. "Emang kakak siapanya sih?"

Adin langsung bertindak. Ia meminta Devina untuk pulang saja daripada semakin merajalela. Adin juga mengajak Santi untuk ke tempat lain saja.

"Dia kok ngeselin banget sih?" Tanya Santi setelah Devina tidak ada.
"Tak kenal maka tak sayang bukan?"

Santi bungkam. Jawaban ini sama seperti jawaban yang dituturkan Devina kemarin.

***

Mereka berdua akhirnya sampai di taman kota.

Cuaca hari ini benar-benar tak bersahabat. Panas tidak bisa dikendalikan dan angin juga tidak ada yang berkeliaran. Suasana taman kota yang panas sudah ramai pengunjung sejak pagi tadi, karena hari ini adalah hari libur. Banyak orang yang ada disana, ada yang pacaran, ada yang cuma main-main saja, ada yang piknik, dan ada juga yang kurang kerjaan seperti Adin dan Santi.

"Ngapain kesini?"
"Senang-senang,"
"Din?" Panggil Santi.
Adin menoleh. "Iya mbak?"
"Lo percaya sama gue kan?"
"Percaya apa?"

Santi menunjukkan foto yang dikirim Wiwik kemarin.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang