dua puluh tujuh - kebersamaan yang indah

44 13 3
                                    

Banyak bahagia yang cuma bisa dirasakan, namun tidak bisa diucapkan.

***
H-4 di Rumah Sakit Medika...

Septian menyuapkan sesendok bubur ke mulut Santi. Suapan penuh sayang dari seorang ayah. Santi senang sekali pagi ini, rasa rindunya sudah terbayar semua.

Di balik pintu, Bi Iin tengah tersenyum dengan manisnya melihat ke akraban Santi dan Septian. Seolah-olah ada bahagia yang tidak bisa diucapkan lewat kata-kata.

Hari ini adalah Selasa. Hari keempat Santi di rumah sakit. Benar-benar membosankan. Setelah menyuapkan makanan tadi, Septian harus kembali ke Bandung untuk mengurus surat-surat pengunduran dirinya dari kepolisian.

Santi bahagia sekali, ayahnya benar ingin meluangkan waktu untuknya. Santi teringat percakapannya tadi.

"Kalau ayah nggak kerja, gimana kita makan? Gimana gaji Bi Iin?" Tanya Santi.
"Ayah akan cari kerja di Jakarta, biar bisa selalu dekat dengan anak ayah." Septian mencium kening Santi. "Ayah cuma sebentar, nanti sore ayah pasti pulang. Dah!"

Mengingat itu Santi senyum-senyum sendiri tak jelas.

Santi kembali mendengar hentakan sepatu sangat keras. Kali ini seperti segerombolan orang menuju ke ruangannya. Ia kebingungan siapa yang datang pagi-pagi seperti ini?

"Pagi everybody," ujar Ririn kala memasuki ruangan bougenville nomor 7 tempat Santi dirawat.

"Kalian?" Santi kembali kagetnya melihat teman sekelasnya juga ikut datang menjenguknya. Ada Anggun, Jonathan, Kugi, Firman, Widi, Ririn, dan...Liam. Liam terlihat sangat mencolok karena menggunakan hoodie berwarna merah darah, sementara teman-temannya memakai seragam sekolah.

Senyum sumringah tercetak jelas dibibir Santi.

"San, maafin gue ya, kata-kata gue mungkin kasar kemarin." Ujar Anggun membuka pembicaraan.
"Gue juga San, lo tahu kan gue paling nggak suka sama pelacur," kali ini Kugi.
"Gue juga minta maaf ya San, gue terlalu percaya dengan begituan," timpal Firman.

"Makanya kaya gue dong, antipati sama berita hoax!" Ujar Jonathan membanggakan dirinya.

"Iya, nggak papa, gue ngerti kok," Ujar Santi. Kali ini yang terlihat bukan Santi yang sinis dan ketus, tapi Santi yang lembut.

Liam duduk di bed cover Santi, ia menggenggam tangan Santi. "Cepet sembuh, San."

Sementara teman-temannya duduk di sofa. Ririn izin keluar sebentar karena mau mengambil sesuatu.

"Halo hai, gue bawa donat dari Donat Atika nih gaes, enak banget!" Ujar Ririn tiba-tiba kala memasuki ruangan Santi. Ririn mengangkat kresek putih wadah donat itu.
"Gratis?" Tanya Kugi.
Ririn mengangguk.
"Sebanyak ini gratis?" Ganti Anggun yang bertanya.
"Iya, kemarin gue kan endorse donat ini, tapi sisanya belum dikirim jadi gue suruh kirim kesini aja," jelas Ririn.
"Enak ya jadi lo!"
"Hidup nggak usah dibawa susah, enakin aja."

Mereka semua menyantap donat yang dibawa Ririn. Berhubung tadi pagi belum ada yang sarapan, donat itu habis dalam hitungan menit. Santi menyisihkan donat dengan toping green tea untuk di makannya nanti.

"Enak kan gaes?" Tanya Ririn.
"ENAK!!!" Seru mereka bersamaan.

Memang di dunia ini tidak ada yang lebih indah dari kebersamaan tanpa kepura-puraan. Kebersamaan tanpa kebencian. Dan kebersamaan tanpa kemunafikan.

"Emang kalian nggak sekolah ya? Kok jam segini udah pulang?" Tanya Santi membuka rasa canggung kembali.
"Mau jenguk lo sih San, hitung-hitung bolos bahasa Inggris sama matematika." Jawab Firman.
"Jadi kalian dari sekolah?"
"Iya, tapi kita udah dikasih izin sama Bu Widya buat jenguk lo," tambah Anggun.
"Lo nggak balik?" Tanya Santi lagi.
"Ngusir nih?"
"Enggak, nanti kalau dimarahin gimana?"
"Nggak bakal, soalnya kita udah izin kesini sampai pulang."
"Hah!? Teman-teman yang lain nggak iri?"
"Lo kok jadi banyak ngomong sih San?" Gurau Kugi. "Iri sih, tapi biarin, iri kan tanda tak mampu."

Mereka yang berada di ruangan langsung tertawa dengan nyaringnya. Ruangan Santi memang jauh dari ruangan lainnya, lebih tepatnya VVIP sehingga mau melakukan apa saja bebas tanpa menganggu yang lain.

Setelah cukup lama menemani Santi. Anggun, Ririn, dan teman-temannya akhirnya berpamitan untuk pulang. Di sana, hanya meninggalkan Liam seorang diri.

"Lo nggak pulang?" Tanya Santi mendapati Liam masih terduduk manis disampingnya.
"Kalau gue pulang, siapa yang jaga lo? Gue bakal pulang kalau bokap lo udah datang."

Bi Iin masuk ke dalam ruangan; Liam hendak beranjak dari kursinya.

"Nggak usah mas, bibi cuma sebentar!" Tahan Bi Iin. "Non, bibi mau pulang dulu, mau beres-beres rumah, kalau sudah selesai nanti kesini lagi!" Titah Bi Iin. Santi hanya mengangguk kemudian membiarkan Bi Iin pergi.

Kini di ruangannya hanya ada Santi dan Liam. Sepi, hening, tidak ada yang memulai percakapan.

"Kadang untuk mendapatkan yang terbaik, kita harus melepas yang baik." Ujar Liam tiba-tiba.
"Maksud lo?"
"Enggak, bukan apa-apa, lupain aja!"
"Oke,"

***

Benar katamu Din, jangan berubah hanya karena kata orang. Sekarang aku ingin berubah menjadi lebih baik. Perubahan ini berdasarkan aku, bukan kata siapapun. Aku ingin berubah, untukmu dan untuk duniaku.

Santi merapalkan kata itu dalam hati.

Kini Santi sendirian dalam ruangan. Tidak ada siapa-siapa karena tadi ia menyuruh Liam membelikan nasi jagung.

Tidak lama, Liam kembali masuk ke ruangan Santi. Bukan membawa pesanannya, melainkan membawa sesuatu yang tidak ada dipikirannya.

"Maaf San, kata dokter lo nggak boleh makan nasi jagung dulu," ujar Liam sedu.
"Lo habis ke dokter?"
"Iya, konsultasi. Apa boleh lo makan nasi jagung? Eh ternyata nggak boleh,"
"Kenapa lo nurutin dokter?"
"Gue bakal nurutin siapapun demi kebaikan lo."
"Kenapa?"
"Bukankah peduli tidak harus ada alasannya?"
"Harus ada,"
"Gue bawa ini," Liam mengangkat sekotak kue brownies cokelat.
"Gue nggak suka kue!"
"Brownies itu bisa bikin mood happy lagi,"
"Masa?"
"Iya, soalnya ada cokelatnya."

Mau tidak mau. Suka tidak suka. Santi tetap melahap brownies itu. Benar kata Liam, kini dirinya bahagia kembali.

"Lo bawa apa lagi itu?" Tanya Santi melihat tangan kiri Liam yang bersembunyi dibelakang hoodie.

"Taraa!" Jawab Liam sembari menunjukkan setangkai bunga matahari segar yang cukup besar.
"Whoaa!" Santi terkaget, ia menutup mulutnya reflek.
"Bunga matahari untuk Santi,"
"Thank, uu" Santi menerima bunga itu.
"Kalau ada perawat, sembunyikan dibalik selimut ya!" Seru Liam.
"Kenapa?"
"Soalnya bunga itu gue nyolong di taman rumah sakit."
"Apa? Sialan! Gue tunjukkin aja, biar lo ketahuan,"
"Jangan, tapi lo senang kan?"
"B aja!"
"Kok b aja, senang dong!"
"Iyaa."

Liam tersenyum penuh arti. Ia bahagia melihat Santi bahagia. Saking bahagianya, Santi terus mengunyah brownies itu hingga nyaris habis.

"Kayanya brownies bakal jadi makanan favorit gue!"

Liam tersenyum. "Kalau gue jadi favorit lo nggak?" Celetuk Liam.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang