dua - bayangan

158 29 3
                                    

Ada bayangan yang terselip dalam kenangan.

***

Kejadian di sekolah tempo hari masih membekas di ingatan Santi. Bisa-bisanya Bu Asih memberikan hukuman yang berat kepadanya sedangkan Wiwik diberikan hukuman yang enteng. Santi tahu kalau Wiwik adalah keponakan Bu Asih, tapi jadi guru harus profesional dong, jangan mentang-mentang saudara di biarkan bebas.

"San—" panggil seorang laki-laki berpostur tinggi tegap dengan rambut cepak khas polisi.

"Ayah?!" Santi terkejut bukan main, melihat ayahnya sudah berdiri di ambang pintu. Ia heran sekaligus berpikir kenapa ayahnya bisa pulang secepat ini, padahal dia sedang bertugas di luar kota?

"Kenapa? Kaget ayah pulang?" Jawab sekaligus tanya Septian—ayah Santi.

"Biasa aja!" Santi melengos.

"Kamu nggak sekolah?" Tanya Septian lagi sembari menoleh ke arah jam yang masih terpatri di angka sembilan.

"Kalau di sini ya nggak sekolah, kalau di sekolah ya nggak mungkin di sini." Jawab Santi sekenanya.

Memang susah mendefinisikan peduli untuk seorang makhluk ciptaan Tuhan yang diberi nama Santi ini.

"Udah ah, Santi ngantuk. Mau tidur!" Santi merebahkan tubuhnya dan menutupnya dengan selimut tebal. Ia ingin laki-laki itu cepat pergi.

"San!" Panggil Septian.

Tidak ada jawaban.

"Santi!" Panggilnya lagi namun dengan nada lebih meninggi.

Masih tidak ada jawaban.

"SAN!" Septian menarik selimut Santi dan menepuk pelan pundak anaknya.

"Jangan bikin ayah menyesal karena nggak bisa didik kamu," Septian kembali bersuara dengan nada penuh tekanan.

Mendengar itu Santi langsung bangkit dari kasurnya dan menatap ayahnya tajam. Ia merapikan rambutnya kemudian menjawab.

"Jadi, maksud ayah, Santi gak terdidik begitu?"

"Bukan begitu, ayah cuma mau kamu berubah, San. Dalam hidup ini semua ada aturannya, kalau nggak mau di atur jangan hidup," jelas Septian.

"Apa karena ayah itu polisi, berhak ngatur-ngatur Santi?" Ketus Santi. "Santi, juga nggak mau terus hidup dalam aturan dan kemauan ayah." Santi berdiri dari kasurnya kemudian berjalan begitu saja meninggalkan Septian yang masih terdiam di atas kasurnya.

"Ayah ngatur kamu bukan sebagai polisi, tapi bapak yang sayang anaknya!"

Santi berhenti di ambang pintu, kemudian bersuara. "Hidup ini memang ada aturannya, tapi bebas dari aturan adalah keinginan setiap orang."

***

Suasana taman kota masih sepi. Santi mendudukkan tubuhnya di bawah pohon besar yang cukup rindang. Angin berhembus pelan, helai rambut Santi ikut beterbangan mengikuti kemana arah angin berlalu. Sesekali ia mengusap keningnya yang penuh keringat.

"Sendirian?" Tanya seseorang dari balik pohon tempat Santi duduk.

"Elo?" Santi kaget.

"Hm, ngapain disini? Nggak sekolah?" Tanyanya lagi.

"Seharusnya gue yang nanya gitu, kecil-kecil udah berani bolos."

"Saya nggak kecil, udah 15 tahun, udah mau SMA!" Katanya tidak mau kalah.

Santi tersenyum simpul, sudah lama ia tidak pernah tersenyum dengan selega ini. Semenjak masuk SMA Santi jarang sekali bisa tersenyum, jangankan tersenyum, bicarapun jarang.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang