delapan - bintang jatuh di matamu (1)

77 14 12
                                    

Aku tidak akan merubah apapun di diriku hanya untuk di sukai orang-orang. Aku hanya akan berubah jika aku sendiri yang menghendakinya. Terserah mereka mau memandangku apa. Aku tidak peduli dengan pandangan mereka. Bagiku, Hidup bukan hanya untuk dipandang, tapi juga disegani dan dihargai dengan pilihannya sendiri-sendiri. (Yulian D. Nugroho)

***

"Udah ya, saya mau balik ke aula!" Ujar Adin setelah berbincang cukup lama dengan Santi.
"Nggak boleh,"
"Kenapa?"
"Ya, pokoknya nggak boleh!" Ketus Santi masih kokoh dengan pendiriannya.
"Alasannya?"
"Nggak ada, kalau lo sampai balik gue hancurin toilet cowok pakai tangan!" Ancamnya.
"Fine."

Adin menggeleng pelan kepalanya. Ia terheran dengan sifat Santi yang sangat keras kepala dan tidak mau mendengarkan omongan orang. Ia bingung, bagaimana caranya membujuk Santi?

Santi beranjak dari kursinya dan benar...ia memukul toilet cowok itu dengan sangat keras pada bagian yang sudah retak sedikit sehingga menjadi retak banyak dan nyaris hancur. Sebanyak apapun pukulannya, tidak akan bisa karena toilet cowok sangat luas.

Adin menganga lebar melihat aksi Santi, ia sangat khawatir dengan Santi.
"Udah mbak, stop!" Teriaknya.
"Lo balik ke aula nggak?" Tanya Santi menggantung.
"Tidak, puas kamu!" Adin menghela napas panjang.
"Gitu dong, gue nggak perlu pukul-pukul tembok!" Ketusnya.

Santi dan Adin kembali duduk di kursinya tadi. Entah apa yang mereka bicarakan hingga waktu yang berkurang sama sekali tidak mereka hiraukan.

"Benar puisinya tadi buat gue?" Tanya Santi. Kenapa Santi jadi kepo seperti ini?
"Bukan,"
"Terus siapa?"
"Kamu,"
"Kamu? Gue kan?"
"Bukan!...kamu!"
"Iya kamu itu gue kan?"
"Kamu, bukan gue!"
"Au ah!" Santi mengendus kesal. "Emang bangsat lo!"

Matahari mulai naik di atas kepala, menandakan waktu siang telah tiba. Saking asiknya bercanda, Adin lupa bahwa masih ada pengumuman pemenang setelah tadi.

"Mbak bakal berubah nggak?" Tanya Adin lagi.
"Ya nggaklah, gue bukan power rangers!" Jawab Santi diiringi cekikikan.
"Serius?" Adin menampakkan wajah tanpa senyuman.

"Berubah gimana sih?" Santi ternyata tidak mengerti dengan pertanyaan Adin.
"Ya, kaya berubah sikap, berubah pandangan, berubah prinsip mungkin?"

Santi tersenyum samar.

"Apa bintang yang lo maksud itu bisa merubah warnanya? Apa bintang di semesta ini bisa berubah warna juga? Tidak Adin. Tidak!

"Bintang punya sinarnya sendiri-sendiri. Ada yang redup ada yang terang, ada yang terlihat ada yang tak terlihat, dan ada yang besar ada yang kecil. Tidak perlu meniru untuk dipuji, tidak perlu berubah untuk disukai. Mereka punya caranya sendiri untuk dicintai, tidak perlu ikut satu dengan satunya lagi.

"Dan kita pun sama seperti mereka...beda, tidak ada yang sama. Oleh karena itu, beda boleh, mencolok boleh, asal tidak merugikan yang lainnya." Santi mengakhiri ucapannya. Ini adalah kata yang paling panjang yang pernah diucapkan Santi setelah ibunya meninggal.

"Sekalipun yang meminta berubah orang yang paling mencintai mbak?" Tanya Adin, nampaknya belum puas dengan jawaban Santi.

"Iya."

Santi menjeda ucapannya.

"Kalau orang itu benar-benar cinta sama kita, dia akan menerima kita apa-adanya. Tidak perlu menuntut, apalagi sampai meminta. Ia akan mendukung apapun yang membuat kita bahagia. Dan jika dia masih memaksa, berarti dia tidak cinta dengan kita, dia hanya cinta dengan sikap kita."

"Udah ah, nanya mulu, capek!"

Adin masih terpaku sepersekian detik, dia masih mencerna baik-baik segala penuturan Santi.

"Benar."
"Layaknya bintang, kamu adalah bintang yang paling terang, bintang yang jatuh di mata saya!"

"Apaan sih lo, najis tau nggak!"
"Kok najis?"
"Iya, sok puitis!" Santi melengos kemudian kembali menatap Adin. "Hiperbola banget, tau nggak? Bintang-bintang jatuh apaan? Emang bintang muat jatuh di mata gue? Hah!?"
"Hiyahiyahiya." Adin tersenyum hambar. "Kan pemanis mbak, nggak bisa diajak romantis!"
"Nggak perlu romantis, karena lo cocoknya itu ngagetin!" Santi menoyor kepala Adin; Adin hanya terkekeh.

Seandainya lo tahu Din, ada sesuatu yang mulai berbeda, Batin Santi.

"Kasih gue motivasi buat hidup dong?" Pinta Santi gila.
"Emang mbak bosan hidup?"
"Iya. Tapi semenjak ada lo, gue jadi semangat lagi."
"Bentar,"
"Apa?"
"..."

Jam menunjukkan pukul satu siang. Murid-murid SMA Bakti Negara sudah masuk ke kelasnya masing-masing untuk kembali melanjutkan proses kegiatan belajar mengajar.

Berbeda halnya dengan Santi, ia masih duduk di kursi yang sama dan masih bersama orang yang sama pula: Adin.
Sepertinya ia ingin bolos pelajaran lagi.

"Apa motivasinya?" Tanya Santi.
"Nggak ada motivasi, sekarang mbak ke kelas!"
"Nggak mau!"
"Ke kelas sekarang! Nanti pulang sekolah dapat kejutan dari saya,"
"Janji?" Santi mengangkat jari kelingkingnya.

Untuk peserta puisi, silahkan berkumpul kembali ke aula! Tiba-tiba suara nyaring terdengar begitu jelas di samping tempat duduk Adin dan Santi.

"Iya, sekarang masuk!" Adin berlari meninggalkan Santi yang masih duduk.
"NGGAK MAU!" Teriak Santi.

Mau tidak mau Adin berhenti kemudian kembali berjalan ke arah Santi.

"Kenapa?" Tanya Adin to-the-point.
"Tadi lo belum janji, siapa tahu lo bohongin gue!" Santi berbicara layaknya anak-anak yang takut keinginan tidak terpenuhi.
"Hah?! Itu doang? Dasar mbak-mbak bocah!" Adin mengangkat kelingkingnya. "Janji!"

Santi juga ikut mengangkat kelingkingnya. Jari mereka akhirnya saling bertautan.

"Iya, janji!"

Kemudian Adin bergegas meninggalkan Santi yang juga sedang berjalan menuju kelasnya.

Mungkin ini sedikit bodoh sih, jatuh cinta dengan adik kelas sendiri. Tapi mereka tidak terlalu kontras juga, contohnya: Adin lebih tinggi dari Santi dan sikapnya pun memang lebih dewasa dari Santi. Sabar dan juga mau mengerti Santi.

Memang kedewasaan tidak diukur dengan umur. Kadang ada yang sudah dewasa tapi kelakukan seperti anak kecil dan ada juga yang masih anak-anak tapi bersikap seperti orang dewasa.

Apa benar Tuhan mengirimkan Adin hanya untuk Santi? Tidak ada rencana lain kan?

***

Santi terduduk malas di bangkunya. Seperti biasa, sendirian dan tidak ada yang menemaninya berbicara. Tadi sempat terbersit di benaknya, Santi ingin dongkol di kelas 10 agar bisa sekelas dan sebangku dengan Adin. Jadi dirinya tidak perlu merasa kesepian dan sendirian lagi. Pikiran yang sangat gila bukan?

"Permisi, bu..." Ucap seorang siswa dari balik pintu. "Santi Dinestantri dipanggil Bu Asih di ruang BK... terimakasih!" Siswa itu berbalik kemudian meninggal kelas 10-IPS-2.

"Baru masuk, bikin ulah lagi! Dasar sampah masyarakat!" Ujar Wiwik yang duduk di belakang Santi. Ia mendengus kesal karena Santi tidak meresponnya. "Tuli atau emang nggak bisa denger nih!" Ucapnya semakin nyinyir.

"Wiwik, mulut kamu diam atau saya sumpal pakai penghapus karet!" Bu Susi—guru geografi kelas 10—juga ikut bersuara melihat tingkah Wiwik.
"Santi, silahkan!"

Santi melenggang begitu saja tidak merespon ucapan Bu Susi. Jangankan merespon, memandangpun tidak!

Ruang BK terletak di samping kiri Aula. Memang agak jauh, tapi suara Aula bisa samar-samar terdengar dari ruangan penuh hukuman itu.

"Pemenangnya adalah, Dito Putra Sastrawinata dari SMP Maria 09 silahkan maju!" Santi agak kaget mendengar pemenang lomba puisi yang dilontarkan MC itu. Ternyata bukan Adin yang memenangkan perlombaan tadi!

Semua ini benar-benar beda dari sinetron dan film-film yang pernah di tontonnya. Dimana sang pemeran utama selalu menjadi juara pertama dan memenangkan segala jenis pertandingan dan perlombaan.

Tapi tunggu, Apakah Adin pemeran utamanya?

Realita dan ekspektasi selalu berbanding terbalik. Tidak pernah sejalan dan tidak pernah saling menguntungkan.

Ya, inilah kehidupan: tidak adil. Apa yang kamu inginkan tidak pernah menjadi kenyataan.

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang