tiga puluh satu - ini kenyataan

54 12 4
                                    

Senyummu adalah candu, menjadi milikmu adalah halu.

***

Santi tengah meluruskan kakinya dibawah pohon mangga yang rindang. Setelah aktivitas tadi, ia benar-benar kelelahan. Tidak hentinya ia menyeruput es serut yang dibelinya tadi setelah berfoto. Berbeda halnya dengan Adin yang justru tengah sibuk memainkan ponselnya.

Selain kelelahan, mereka berdua sepertinya sangat kenyang karena sedari tadi telah mengisi perutnya dengan makanan-makanan khas Ibukota. Seperti nasi jagung, rawon, soto jakarta, dan masih banyak lagi. Yang terakhir kali dimakan Santi dan Adin adalah ketoprak.

Suasana pagi ini memang cukup panas. Matahari bersinar dengan teriknya dan awan-awan tersibak angin yang berhembus sehingga tidak ada bagian teduh di langit. Awan yang tersibak membuat cahaya matahari langsung masuk ke bumi tanpa terhalang apapun.

"Lo ngapain sih, fokus banget sama hp!" Ujar Santi melihat Adin yang tidak berkutik sedikitpun dengan ponselnya.

Adin langsung mematikan ponselnya kasar kala mendengar pernyataan Santi. "Perasaan mbak aja kali!"

"Din, lo kok pucat banget sih?" Ujar Santi lagi. Ia meletakkan punggung tangannya ke dahi Adin untuk memastikan suhu badan orang itu.

Adin memegang pipinya. "Masa sih? Kecapekan mungkin. Mau jalan lagi?"
"Iya, suhu lo normal kok!" Ujar Santi mantap. "Nggak, disini aja, kalau udah nggak capek baru jalan lagi." Timpalnya.
"Terserah mbak aja,"

Waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi. Kejadian di pasar kaget tadi ternyata sangat lama namun terasa begitu singkat bagi Santi. Santi tadi berangkat pukul 7, sudah 3 jam ia bersama Adin.

"Lo tahu nggak?"
"Nggak," jawab Adin. "Berarti kita jodoh."
"Kok jodoh?"
"Kan sama-sama nggak tahu."
"Gue mau cerita dodol, bukan bahas jodoh!"
"Saya pendengar yang baik."
"Lo pernah gue ceritain tentang bokap sama nyokap gue nggak?"
Adin menggeleng pelan.
"Gue udah baikan sama bokap gue kar—"
"Emang sebelumnya musuhan?" Potong Adin cepat.
"Diam bangsat, gue nggak suka dipotong!"
"Saya juga nggak suka dipotong, dipotong itu sakit apalagi kalau dipotong tangannya."

Santi menghela napas kasar. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia tidak bisa menebak pola pikir anak-anak seperti Adin.

"Dipotong pembicaraannya, dasar bocah!"
"Saya bukan bocah, nama saya Ardinastiar!"
Santi meletakkan telunjuknya di bibir Adin.
"Lanjutin jangan ceritanya?" Tanya Santi diikuti anggukan kepala oleh Adin.

"Nyokap gue udah meninggal Din sejak gue kecil dan semenjak itu pula gue benci banget sama dunia luar. Dunia luar itu jahat, dia ngambil orang yang sangat gue sayangi. Disaat yang bersamaan gue benci banget sama bokap gue karena dia selalu sibuk dan sekalinya peduli dia ngatur-ngatur gue."

"Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya."

"Benar, sekarang gue udah tahu alasannya dan tebak apa?" Tanya Santi mengambang.
"Apa?"
"Gue udah baikan sama bokap," jawabnya histeris. Adin tidak pernah melihat Santi sebahagia ini.
"Ayo ke danau mbak!" Ajak Adin.

Santi mengangguk kemudian mereka berdua berjalan menuju danau yang letaknya tak jauh dari tempat itu.

***

Mereka berdua sampai di danau tepat setelah adzan dhuhur berkumandang. Lama sekali mereka sampai karena mereka memilih berjalan kaki daripada naik kendaraan umum.

Adin dan Santi duduk di gubuk reyot itu. Gubuk paling bersejarah bagi Adin dan Santi. Gubuk itulah yang mendekatkan hubungan antara Adun dan Santi.

Adin memegangi dadanya terus menerus. Napasnya tersengal-sengal. Keringat terus membasahi pelipisnya dan wajahnya pucat pasi. Santi yang menyadari itu berinisiatif bertanya.

"Lo kenapa?" Tanya Santi.

Hening. Adin tidak menjawab.

"Din, lo kenapa?" Tanya Santi lagi.

Masih tidak ada jawaban.

"DIN, LO KENAPA?!" Ulang Santi setengah berteriak karena Adin tidak kunjung menyahutinya. Ia menggoyangkan pelan bahu Adin dan kemudian...Adin jatuh dalam pangkuannya.

Adin pingsan.

Santi panik bukan main. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Wajahnya ikut pucat pasi karena saking ketakutannya.

"Din, lo nggak usah bercanda!" Santi menepuk-nepuk pipi Adin namun Adin tak kunjung membuka matanya. "DIN!"

Santi kembali mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia tidak pernah menangani orang pingsan, jadi otomatis dia juga tidak tahu pertolongan pertama yang harus dilakukan jika ada orang pingsan. Santi sangat khawatir, ia akhirnya memilih meninggalkan Adin di gubuk itu untuk mencari bantuan.

Setelah cukup lama meninggalkan Adin, Santi kembali sendirian. Ia tidak mengajak orang ataupun dokter untuk menemui Adin. Bagaimana dia ingin meminta bantuan, untuk menyapa saja dia harus berpikir 1000 kali.

Ia mengeluarkan minyak kayu putih dari sakunya. Ia mendekatkan minyak itu ke indra penciuman Adin. Tidak ada reaksi meskioun percobaan itu dilakukan berulang kali, cowok itu masih tergeletak lemah dengan menenggelamkan kepalanya di pangkuan Santi.

Din, jangan gini, gue nggak bisa. Bangun! Bangun Din! Gumamnya terus menerus dalam hati.

Santi tidak bisa melihat Adin seperti ini, Santi terus mencoba membangun Adin dengan menepuk-nepuk pipinya.

***

"Mbak, perut saya kram," Ujar Adin lirih setelah matanya terbuka. Adin bangun dari tidurnya kemudian menyentuh perutnya dengan tangan kanannya.

Santi tidak tahu harus bereaksi apa, di satu sisi ia bahagia karena Adin telah terbangun dan di sisi lain ia khawatir dengan perut Adin. "Lo lapar, Din?" Santi mulai panik.

"Nggak mbak, kita kan udah makan banyak tadi di pasar kaget. Kita udah makan ketoprak, soto, nasi jagung, dan es ser—" ucapan Adin terhenti kala telunjuk Santi berada di depan bibirnya. Dekat, sampai Adin bisa merasakan tangan Santi yang menyentuh bibirnya.

"Gue pikir seorang dewa kejutan seperti lo itu kuat Din. Ternyata dibalik semua senyum dan tingkah laku lo itu, lo adalah sosok yang sangat rapuh. Gue kira jalan dari pasar kaget ke sini nggak bakal bikin lo pingsan, Din. Maafin gue, gue terlalu memaksa lo buat nurutin apa yang gue mau tanpa gue ngertiin lo," Santi menenggelamkan wajahnya dalam rasa bersalah. Ia sangat menyesal mengajak Adin berjalan tadi.

"Mbak, mbak nggak salah, mbak nggak perlu ngomong gitu. Mbak tahu siapa orang yang paling mengerti saya di dunia ini? Orang itu adalah mbak, Mbak Santi Dinestantri yang selalu menekuk wajahnya. Justru Adin yang harus minta maaf karena nggak bisa berbuat banyak sama mbak sejauh ini," Adin memegang tangan Santi. Ia mengatakan itu dengan sangat bersungguh-sungguh.

Santi terpaku sejenak, ia menatap wajah Adin yang pucat pasi. "Adin lo itu orang paling sempurna yang gue temuin. Gue itu monster, orang-orang nyebut gue gitu dan lo itu apa ya? Lo itu manusia super sabar yang tahan dengan semua sikap konyol dan aneh gue sampai sekarang. Lo tahu apa? Semua sesuatu yang membuat lo bahagia, gue pasti bakal ikut bahagia. Gue nggak tahu harus ngelakuin apa aja buat bilang terimakasih sama lo, karena lo udah buat gue mengerti tentang dunia dan selalu memberi kebahagiaan yang utuh buat gue."

Adin tersenyum kaku sebelum kembali melontarkan pertanyaan pada Santi. "Mbak bilang kalau apa yang membuat saya bahagia, mbak juga ikut bahagia?"

Santi menganggukkan kepalanya.

"Dan, mbak bilang mau ngelakuin apa aja buat saya?" Adin memaksakan senyumnya. "Sebenarnya saya mau minta sesuatu sama Mbak Santi."

Santi mengangguk mantap. "Apapun Din, apapun bakal gue lakuin buat lo Ardinastiar..."

"Tolong biarkan Adin pergi selamanya dari hidup mbak dan bahagia sama Devina..."

ArdinastiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang