#4: The Charming Of Hae San

2.2K 282 27
                                    

Yeori celingukan dari jendela ruang kesehatan sekolah mencari seseorang. Ia sudah buat janji dengan Jimin untuk memeriksa kondisi kepalanya setelah tiga hari sejak tragedi kepala Yeori terkena bola. Ia juga ingin mengembalikan seragam olahraga milik Jimin yang dipinjamkan kepadanya.

"Kau sudah datang?" sapa Jimin dengan ramah saat menyadari kehadiran Yeori di pintu masuk. "Ayo, berbaring di sini," Jimin menepuk-nepuk tempat tidur pasien yang ada di sebelahnya.

"Sambil duduk di kursi tidak masalah 'kan? Kupikir penyakitku tidak cukup parah sehingga aku harus diperiksa sembari berbaring," ujar Yeori yang sedang berusaha menetralisasi detak jantungnya. Sama seperti pertemuan pertamanya dengan pemilik senyum manis itu, jantungnya berdetak tidak karuan, apalagi saat Yeori menyadari hanya ada mereka berdua di sana.

"Baiklah," ujar Jimin seraya bangkit dan duduk di kursi yang ada di hadapan Yeori. "Duduklah, biar kulihat dulu lukamu."

Jimin mulai membuka plester yang menutupi luka Yeori kemudian sedikit mengoleskan obat antiseptik di sana.

"Lukanya sudah kering. Kau tidak perlu menutupnya dengan plester lagi," ujar Jimin.

Dari jarak sedekat itu, Yeori bisa melihat wajah Jimin dengan sangat jelas. Rambutnya yang menjuntai di dahi, alisnya yang tebal, matanya yang bersinar, kulit wajahnya yang mulus bak porselen tanpa jerawat, bibirnya yang merona, juga jakunnya yang terlihat manly. Yeori juga bisa mencium wangi parfumnya yang sangat segar.

"Apa kepalamu masih terasa berdenyut?" tanya Jimin.

Yeori yang masih asyik memperhatikan wajah Jimin hanya menjawab dengan gelengan kepala. Jimin yang merasa omongannya tidak ditanggapi segera menatap Yeori yang masih menatap Jimin tanpa berkedip.

"Kau suka padaku, ya? Menatapku sampai seperti itu," canda Jimin sambil tersenyum.

Yeori tersadar. Mendengar ucapan Jimin itu rasanya seperti terjatuh dari gedung bertingkat. Sangat syok. "Yang benar saja!" sungut Yeori tidak terima. Jimin tersenyum lagi kemudian membereskan peralatan medisnya.

"Boleh kutanya sesuatu?" Jimin menatap mata Yeori.

"Apa?"

"Apa kau sudah punya pacar?"

Tatapan mata itu begitu menusuk menembus jantung Yeori dan pertanyaan yang dilontarkan Jimin barusan terasa amat sangat menyesakkan jalan pernapasannya. Apa maksud pertanyaan itu? Apa Jimin ingin Yeori jadi pacarnya? Ah, rasanya Yeori bisa gila dalam hitungan detik saja.

"Ah, aku lupa! Aku-aku ada janji dengan teman sekelasku di-di-di perpustakaan. Ada tugas yang harus kami se-selesaikan," ujar Yeori tergagap setelah berhasil menemukan ide cemerlang di otaknya untuk menghindar dari kondisi yang terasa mencekik jantungnya itu. "Kalau aku terlambat Choi Eunri akan marah padaku."

"Choi Eunri? Jadi kau sudah berteman dengannya?"

"Tentu saja aku berteman baik dengannya. Dia sekelas denganku, duduk di sebelah mejaku." Yeori langsung tertawa dibuat-buat. Ia tidak yakin apa dia memang sedekat itu dengan Choi Eunri sehingga bisa bilang kalau dia berteman baik dengannya. Ah, tapi siapa yang peduli. Satu hal yang terpenting sekarang adalah bisa menjauhi Jimin yang terlihat mengerikan saat itu di matanya. Yeori tidak peduli meski harus berbohong.

"Bisakah kau duduk tenang? Bisa kupastikan dia tidak akan memarahimu meskipun kau tidak membantunya mengerjakan tugas hari ini," Jimin tersenyum geli menatap Yeori.

Yeori menggigit bibirnya. Mati ia kali ini. Yeori memejamkan matanya lalu menghitung sampai tiga di dalam hati. Begitu sampai hitungan ketiga ia langsung berlari meninggalkan ruang kesehatan sekolah tanpa menoleh lagi meski pun telinganya sempat mendengar Jimin memanggil-manggil namanya. Bungkusan berisi seragam olahraga milik Jimin pun ia tinggalkan begitu saja. Ia tidak ingin bertemu orang itu lagi. Senyum manis juga pertanyaan Jimin itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

[Sudah Terbit] Unpredictable Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang