22: Gengsi 1: kesal versi baru

2K 154 2
                                    

Sehun POV

"Halo, Dedek. Muchhh..." aku baru saja bangun dan langsung menyapa dedek dengan mengelus perut Irene lalu mencium pipi Irene yang masih memelukku erat.

"Sayang aku mau bilang sesuatu...kamu jangan marah ya?" kata Irene dengan matanya masih terpejam.

"Kenapa, sayang? Iya aku ga akan marah." ucapku sambil mengelus pipinya.

"Dedek tadi malam lapar, terus aku bangun dan ke dapur buat minum susu. Aku ga tau kalau tab kamu masih di meja dapur, tab kamu layarnya rusak karena aku ga sengaja jatuhin. Maaf ya, sayang. Aku beneran ga sengaja." jelas Irene sambil memikirkan tab mana yang kutaruh di dapur.

"Ipad yang baru ya sayang?" tanyaku.

"Hmmm...kamu marah ya?" tanya Irene.

"Engga, sayang. Salah aku juga letak sembarangan. Gapapa kok, ga ads data penting di dalamnya. Jangan pikirin lagi." kataku sambil mengelus pipinya dan Irene mulai membuka matanya.

"Kamu semalam juga lupa nutup garasi." kata Irene.

"Iya sayang, semalam aku lupa semuanya karena kamu. Makasih ya untuk tadi malam, sayang. Kamu luar biasa. Muach..." aku menciumnya dan dia perlahan membalas ciumanku. Untung hari ini hari minggu dan kami melanjutkan seperti tadi malam.

Akhirnya aku paham kenapa Tao mengatakan aku akan semakin jatuh cinta pada Irene kalau kandungannya sudah membesar. Wah, aku benar-benar gila akan Irene tadi malam. Hari ini aku dan Irene berencana berbelanja keperluan dedek. Kami hanya bisa berbelanja hari minggu seperti sekarang.

"Sayang..."

"Hm? Kenapa, baby?"

"Kamar dedek minggu depan kan dibuat, minggu depan kamu yakin bisa libur sabtunya? Aku ada acara bareng temen kantor, mereka mau buat baby party." jelas Irene dan kuangguki.

"Iya, sayang. Aku bisa kok. Kamu dimana acaranya?" tanyaku.

"Ga tau. Nanti mereka jemput aku langsung. Surprise gitu kata mereka. Ayo mandi, sayang. Badan aku lengket banget." kata Irene sambil berusaha untuk duduk.

Sekitar jam 10 kami akhirnya meninggalkan rumah untuk pergi ke pusat perbelanjaan. Di perjalanan kami mengobrol banyak salah satunya soal pernikahan Suho yang akan diadakan sebentar lagi.

"Suho, aku baru sadar namanya sama dengan member EXO yang aku suka itu. Kamu ingat kan, sayang?" tanya Irene membuatku sedikit gugup karena jika aku jujur tidak mengingat itu maka Irene pasti akan mengamuk.

"Hmm tentu." jawabku sambil tersenyum. Ya Tuhan selamatkan aku.

"Kamu lupa ya?" mampuslah aku.

"Engga lah, sayang. Suho yang ganteng itu kan?" semoga berhasil.

"EXO ganteng semua. Kamu bohong!" matilah aku.

"Yaampun.. engga, sayang. Aku inget." kataku lagi berusaha meyakinkan kebohonganku.

"Kalau begitu, coba bilang yang mana Suho di sini." kata Irene sambil menunjukkan sebuah foto yang kuyakini foto EXO dan mereka SAMA! Tamatlah aku.

" kata Irene sambil menunjukkan sebuah foto yang kuyakini foto EXO dan mereka SAMA! Tamatlah aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yang... yang..."

"BOHONG!"

'Hari kematianku hari ini.' batinku menyerah.

"Maaf ya sayang...aku benar-benar bingung...mereka mirip semua." kataku pelan dan dia sama sekali tidak bergerak dari posisi memunggungiku dan melihat ke arah jendelanya.
"Hmmm aku udah bicara sama direktur agensi, katanya dia bisa nemuin kamu sama Suho. Nanti aku undang Suho ke rumah kita kalau kamu mau." semoga ini berhasil.

"Kita pulang aja. Aku mau tidur. Nanti aja belanja buat dedek. Dia juga entar dapat hadiah banyak kalau lahiran."

Semua ibu hamil seperti Irene? Apa hanya Irene? Aku ingin sekali marah sekarang...tapi semua hilang saat aku melihat tangan Irene mengelus perutnya. Ya Tuhan, mungkin aku memang suami yang jahat tidak mengingat wajah pria yang disukai isteriku...hah..aku pasrah.

Kami sampai di rumah tidak lama setelah Irene memutuskan sepihak untuk pulang saja. Aku benar-benar merasa bersalah sekarang karena Irene tidak marah seperti biasanya kalau lagi ngambek. Dia menutup pintu mobil dengan lembut, mengambilkan sandal rumahku, dan bahkan menuangkanku minum seperti biasanya kalau kami baru sampai ke rumah. Aku hanya bisa menebak-nebak apa yang terjadi pada Irene sekarang. Yang pasti dia kesal dengan diriku tapi...

"Halo, Dok?" aku memutuskan menelfon dokter kami, tapi aku menelfon dokter di ruang kerjaku dan terkunci.

"Halo, Bapak. Ada apa, Pak? Ibu Irene kenapa?"

"Irene ngambek lagi, Dok. Tapi kali ini tidak seperti biasanya. Dia biasa aja. Irene melakukan hal seperti biasa. Tidak mengurung dirinya dalam kamar atau lainnya seperti belakangan kalau ngambek. Itu kenapa ya, Dok?"

"Ibu Irenenya sekarang sedang apa ya, Bapak?"

"Dia lagi dengerin lagu sama dedek, Dok."

"Ibu Irene masih acuh ya tapinya sama Bapak?"

"Iya, Dok. Dia ga mau bicara."

"Iya, Pak. Ibu Irene masih sekarang lagi marah tapi memilih diam dan normal. Ini stage lain dari kemarahan, Pak. Marahnya lebih lama dan ga seperti biasanya. Kalau biasanya marahnya itu kayak balita yang nangis sejadi-jadinya kan ya, trus yaudah selesai baik lagi. Nah sekarang Ibu Irene seperti remaja belasan tahun yang kalau marah diam aja tapi kegiatannya tetap normal, dia makan, dia minum, dia ini itu. Tapi diam aja. Ini normal sekali bagi ibu hamil ya, Pak. Bapak ga usah khawatir untuk kandungannya ga ada efek macam-macam. Tapi untuk Bapak harus lebih persuasif, pelan-pelan ajak Ibu ngobrol atau dedek dulu yang diajak ngobrol. Atau Bapak bisa spoil Ibu seperti memberi makanan kesukaan atau memijat Ibu. Kayak Bapak biasanya bujuk Ibu waktu pacaran aja, Pak. Semangat ya, Pak."

"Huh... lebih serem ini berarti ya, Dok. Kalau kemaren aku diemin aja dia nangis aja gitu trus dia yang datangin aku. Kalau pun aku bujuk Irene dia bakal nangis aja sambil pukul aku, gitu aja siap. Susah ini, Dok. Waktu pacaran isteriku itu jarang ngambek begini. Dia baik banget pas pacaran, sekarang juga tetep tapi lain aja gitu, Dok."

"Iya, Pak. Saya mengerti maksud, Bapak. Seperti yang saya bilang dari awal, kehamilan menjadi sebuah perjalanan pengalaman yang berharga. Nikmati prosesnya, Pak. Ibu hamil memang tidak diprediksi walau sudah banyak teori kedokteran dan kejiwaannya. Tetap saja, setiap wanita itu berbeda hormonnya."

"Terima kasih banyak, Dok. Maaf sudah mengganggu dokter."

"Tidak apa-apa, Pak. Salam buat Ibu ya, Pak."

Dan telfon kami putus. Aku langsung menarik nafas panjang dan menghelanya sekuat mungkin. Mari kita mulai pengalaman ini.

"Dedekkkkkk...." aku meneriaki dedek dari kantorku yang berada di lantai dua dan Irene sedang berada di lantai nol, yang menjadi living area kami, di lantai itu ada dapur, ruang makan, dan ruang tv.

Aku berlari dari tangga dan langsung duduk di lantai karena Irene sedang berbaring sambil mendengarkan musik. Aku menyamakan wajahku dan perut Irene. Heran, Irene tidak menjauhkan dirinya, tetap pada posisinya sambil memainkan hpnya.

"Halo dedek, wih lagi dengerin lagu. Ihhhh pukul-pukul perut Mama. Kenapa? Mau bilang apa, Dek? Hm?" aku meletakkan kepalaku di perut Irene dan berpura-pura mendengarkan jawaban dedek.

"Mck!" Irene akhirnya menunjukkan reaksi kekesalannya. Dia tidak mau aku mendekati dedek, Irene berdecak lalu berdiri.

"Sayang." aku cegat Irene dengan meraih tangannya.
"Suho aku telfon ya? Sekarang aku suruh ke sini?" kataku dan dia malah menghentakkan tanganku.

"Gausah! Aku ga suka EXO! Aku ga suka kamu! Sana kamu!" akhirnya dia berteriak. Kalau begini aku tidak panik lagi, dia akhirnya bersuara.

"Dek, bantuin Papa ya." bisikku saat Irene sudah pergi masuk ke dalam kamar kami.

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang