31 - Angkasa

56.4K 3.9K 31
                                    

Setelaj menyepakati untuk bolos sampai waktu isoma, di sinilah mereka sekarang. Di ruang terbuka, yang menganga lebar membiarkan sinar mentari juga angin menerpa mereka berdua. Rooftop.

Bintang melepaskan topi yang sejak tadi menempel di celananya. Lalu, memakaikan topi tersebut ke kepala Bulan. Bulan cukup terkejut, tapi pernyataan Bintang selanjutnya mengurungkan niatnya untuk bertanya.

"Jangan tanya buat apa, jelas-jelas ini panas. Biar lo gak kepanasan!"

Bintang duduk sembarang ke atas lantai rooftop. Bulan mengikuti Bintang, dan sekarang mereka duduk berhadapan.

"Lo gak ada niatan mau belajar? Kan lusa udah ujian kenaikan kelas." Ucap Bulan menyingkap suasana hening yang sejak tadi menyelimuti mereka. Kenyataannya memang begitu. Hari ini adalah hari sabtu, dan lusa mereka sudah melaksanakan ujian.

"Gue kan gak butuh nilai tinggi. Yang penting gue naik kelas!" Ucap Bintang membuat Bulan menunduk. Terkadang, Bulan ingin menjadi orang sejenis Bintang. Bebas. Tanpa dituntut mendapat nilai besar.

"Gue pengen kayak lo. Bebas," lirih Bulan membuat Bintang menatapnya semakin lekat. Bulan masih menunduk. Memberitahu Bintang yang sebenarnya tak salah bukan? Toh, juga Bintang sudah tahu.

"Gue bisa bantu lo. Tapi, gue gak tau mau ngapain kalau lo gak cerita, Lan! Please, cerita ke gue." Bintang mengangkat wajah itu, menampilkan wajah Bulan yang jelas menahan tangis.

"Lo yakin mau bantu gue? Papah gue bisa lakuin apa aja ke lo kapanpun."

"Dan gue bisa lakuin apa aja buat orang yang gue sayang." Bintang tidak sedang menggombal atau apalah. Semuanya murni dari hati Bintang. Sudah menjadi tekad dalam dirinya untuk membahagiakan orang-orang yang ia sayangi.

"Oke. Gue bakal cerita."

Bintang diam menunggu Bulan melanjutkan perkataannya.

"Jadi, dulu itu Papah gue seambisius itu sama gue. Bahkan dulu, saat sd gue gak pernah dapet peringkat lima pun di kelas. Karena dulu, Papah gue gak pernah menuntut itu semua. Karena nyatanya, ada anak lain yang lebih pintar dan jenius tanpa harus Papah kekang. Dia kakak gue, Angkasa namanya. Papah sayang dia, dan juga gue. Lo bisa bayangin betapa harmonisnya hidup gue dan keluarga gue saat itu.

"Sampai gue kelas lima, berita miring tentang kak Angka buat Papah murka. Sejak saat itu, Papah benci Kak Angka. Kata Papah, perusahaannya bangkrut, karena masalah kak Angka saat itu. Dan setelah itu, Papah mengasingkan Kak Angka. Gue pun gak tau Kak Angka dimana. Dan yang orang-orang tau, Kak Angka udah meninggal. Sejak saat itu, Papah menuntut gue untuk bisa berprestasi melebihi Kak Angka. Supaya kalau Kak Angka kembali, Papah maunya gue yang melanjutkan perusahaan keluarga. Bukan Kak Angka. Karena Papah udah gak percaya sama dia. Papah bahkan udah gak nganggap dia sebagai anak lagi." Bulan menghela napasnya sendu. Udara panas berganti dengan dingin, yang membuat hatinya terasa ngilu.

"Gue boleh tau, berita miring itu apa?" Tanya Bintang takut-takut. Sejak tadi, ia berusaha berita tersebut, tapi tidak ada.

"Lo cari di google ya? Lo pikir, Papah gue akan membiarkan orang yang nyebarin berita itu hidup? Semua beritanya udah dihapus. Dan kasus itu ditutup, dianggap impas karena Kak Angka dianggap udah meninggal." Ucap Bulan setelah melihat Bintang sibuk menscroll ponselnya.

"Kasusnya pembunuhan berantai yang dilakukan siswa kelas dua smp." Lanjut Bulan membuat Bintang kaget. Apa mungkin? Terasa tidak mungkin, karena Angkasa lahir dari keluarga baik-baik setau Bintang.

"Lo percaya berita itu, Tang?" Tanya Bulan diikuti dengan setetes air mata yang jatuh ke pipinya.

"Gue gak yakin kalau anak yang dilahirkan dan dibesarkan di keluarga baik-baik jadi pembunuh. Lagipula, dari cerita lo, Angkasa itu berpendidikan yang baik. Gak mungkin dia melakukan hal seremeh itu." Ucap Bintang membuat Bulan senang. Setidaknya, ada tiga orang yang tidak percaya berita itu selain dirinya. Alena, Nia, dan Bintang.

"Kalau gue boleh tau, pembunuhnya pakai senjata apa, Lan?" Tanya Bintang lagi.

"Pistol. Pistol Kak Angka menurut penelitian polisi. Tapi, kata Kak Angka pistol itu sebenarnya tiga hari sebelum itu hilang."

"Angkasa main pistol beneran di umur segitu?"

"Ayolah, dia terlalu cerdas buat lo kaji."

"Dimana pistol itu dia sembunyiin?"

"Gue gak tau. Gak pernah dikasih tau karena menurut kak Angka gue itu gak ngerti cara makainya. Takutnya, malah melukai orang."

Bintang mencerna kalimat Bulan. Lalu, detik berikutnya ia tersenyum puas. "Sepertinya Kak Angka tau pelakunya," ucapnya kemudian.

"Darimana lo tau?"

"Karena gue jenius!"

"Iss! Tapi, kalo kak Angka tau, kenapa dia gak laporin orang itu aja?"

"Karena dia gak punya bukti, sayang!" Ucap Bintang gemas seraya menarik hidung mungil Bulan. "Atau, karena Kak Angka terlalu baik, jadi dia gak tega laporin orang itu."

"Menurut lo gitu?"

Bintang mengangguk mantap.

"Lo mau bantu gue?"

"Siap 86 buk bos! Gue akan cari tau siapa pembunuhnya. Selincah apapun pembunuh itu, bagaimana pun dia masih anak SMP. Pasti dia melakukan kelalaian. Gak ada kejahatan yang sempurna."

***

Vote comment jangan lupa
Follow ig aku juga jangan lupaa :v
@zkhulfa_

😘

Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang