"Bintang?" Lirih Bulan masih tidak percaya.
Alena dan Resti dengan bersusah payah akhirnya tiba di samping Bulan. Bulan masih mematung dengan air mata yang jatuh tanpa suara. Tubuhnya berguncang hebat. Bagaimana tidak. Di sana, Bintang dikelilingi darah yang terus mengalir. Di depan matanya.
"Bintang?!" Pekik Alena histeris. Ia segera menghampiri Bintang, sedangkan Bulan masih mematung di tempatnya.
"Lan?" Panggil Resti seraya mengelus pundak Bulan. Bulan masih diam.
"Lan, kita bawa Bintang ke rumah sakit Sejahtera." Ucap Alena panik seraya memegang tangan Bulan dengan tangannya yang terkena darah.
Bulan menggelengkan kepalanya. "Dia bukan Bintang kan, Na?" Lirihnya pelan seraya menangis.
Alena diam. Nampak jelas bahwa Bulan masih shock.
"Alena! Bilang ke gue kalo dia bukan Bintang!!!" Pekik Bulan seraya menangis. Alena menggeleng, dia memeluk Bulan untuk menenangkan.
"Dia Bintang, Lan... kita bawa ke rumah sakit pakai mobil lo, ya?" Ucap Alena pada Bulan.
"Enggak! Dia bukan Bintang! Bintang baik-baik aja!!!" Teriak Bulan tidak terima. Kali ini tangisnya pecah. Isaknya memilukan siapapun yang mendengarnya.
"Mbak, kami sudah menelepon ambulance tadi." Ucap seorang bapak-bapak berperawakan tinggi pada Alena.
"Rumah sakit mana?" Tanya Alena melepaskan pelukannya pada Bulan. Dan di kesempatan itu, Bulan berlari ke arah Bintang.
"Rumah sakit Melati mbak," jawab pria itu. Alena teringat sesuatu dan segera menghidupkan ponselnya.
"Om Adi dimana? Di rumah sakit Melati gak?" Tanya Alena pada seseorang di seberang sana.
"Oke. Om jangan kemana-mana dulu! Terjadi sesuatu sama Bintang, ambulance lagi menuju ke sini." Lanjut Alena dan langsung mematikan ponselnya.
Di lain sisi, Bulan masih berdiri di samping tubuh Bintang. Tangisnya masih belum reda. Kekuatannya hilang. Kakinya tak lagi sanggup menopang tubuhnya agar tetap berdiri. Bulan terjatuh.
Tak peduli jika lututnya berbenturan dengan kerasnya aspal. Bahkan darah yang mengenai rok sekolahnya masih tak ia hiraukan. Lagi. Bulan merasakan kehilangan yang mendalam. Untuk kedua kalinya, ia melihat orang yang ia cintai terluka parah.
Cintai? Ya. Setelah menghilangnya Bintang belakangan ini, Bulan dapat merasakan dan dapat mengetahui. Bahwa ia mencintai Bintang juga. Tapi, ia masih belum yakin. Karena Bumi masih tetap bertahta di hatinya.
"Bintang, bangun Tang! Kita bahkan baru baikan... lo jangan sakit jugaa. Gue gak sanggup, Tang! Bintang bangun!!!" Bulan terus meracau tidak jelas di samping Bintang dan memeluk tubuh berlumur darah itu.
"Bintang... bangun..." rengek Bulan sembari memeluk Bintang. Tak ingin. Bulan tak ingin jika Bintang juga harus koma seperti Bumi.
Sirine ambulans berbunyi keras. Membuat kerumunan itu terbelah untuk memberi jalan.
Bulan melepaskan pelukannya. Bajunya sudah terkena darah dari Bintang. Tapi ia tak peduli.
Bintang dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Dan Bulan ikut naik ke mobil itu. Sedangkan Alena dan Resti menaiki mobil Bulan menuju rumah sakit.
"Bintang, gue yakin lo sembuh. Jangan bikin gue khawatir... gue sayang sama lo," ucap Bulan menahan air matanya seraya memegangi tangan Bintang. Namun, tak ayal juga air mata itu kembali jatuh bahkan sampai mereka tiba di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, seornag dokter dan beberapa suster mengambil alih Bintang. Bulan hanya bisa mengikuti mereka dan berhenti di luar ruangan. Satu harapannya. Bintang lekas sadar.
...
B
ulan masih setia berdiri di depan ruangan Bintang. Bahkan mengganti pakaiannya pun ia enggan. Yang ia lakukan hanya mondar-mandir seraya berkata tidak jelas dan menangis. Alena sudah menyuruh Bulan untuk duduk. Tapi, Alena seolah angin yang berlalu baginya.
Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter keluar dari ruangan dengan senyumannya.
"Om! Gimana keadaan Bintang? Gak terjadi hal yang fatal kan? Bintang baik-baik aja, kan?" Tanya Alena pada dokter Adi yang kebetulan adalah paman Alena sendiri.
Dokter Adi tersenyum dan mengangguk. "Bintang baik-baik aja. Meski sempat drop sebentar tadi, tapi dia udah membaik. Sebentar lagi dia sadar."
"Drop?" Ulang Bulan dalam hati. Bulan memerhatikan ekspresi Alena yang teramat cemas. Seolah ada hal lain yang ia cemaskan. Hal yang mungkin sangat berbahaya dan sangat fatal. Tapi, apa itu?
Alena dan Resti langsung masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Bulan memilih untuk menahan langkah dokter Adi dengan pertanyaannya. "Memangnya ada hal lain yang perlu dikhawatirkan dari Bintang, dok?" Tanya Bulan tepat saat dokter Adi hendak melewatinya.
Dokter Adi nampak sedikit terkejut. Lalu, ia bertanya, "Kamu siapanya Bintang?"
"Saya... sahabatnya. Dan saya tau, ada yang sedang dokter sembunyikan dari saya. Apa itu dok? Apa Bintang punya penyakit lain?"
Dokter Adi menghela napasnya sejenak. "Ikut saya ke ruangan saya jika kamu benar-benar ingin tau."
...
"
Apa?! Kanker darah?! Ta-tapi... sejak kapan dok?" Tanya Bulan cukup terkejut dengan penuturan dokter Adi barusan.
"Sudah sejak Bintang kecil. Dan saya adalah dokter yang menanganinya. Sebenarnya, Bintang tidak mengizinkan saya untuk mengatakannya pada siapa pun. Tapi, sepertinya kamu benar-benar peduli padanya. Beruntung, karena Bintang tidak terkena kanker yang ganas. Hanya saja, beberapa bulan belakangan ini dia sering drop."
Bulan tidak tahu lagi harus bagaimana dan berkata apa. Yang jelas sekarang, ia hanya bisa menangis mendengar kenyataan yang begitu pahit ini.
Kenapa? Kenapa Bintang tidak pernah memberitahunya?
***
Tbc ae lahhh
See you, next
![](https://img.wattpad.com/cover/165676999-288-k897753.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)
Roman pour AdolescentsIni kisah tentang Bumi, Bulan, dan Bintang. Kisah yang mungkin akan membuat kalian bernostalgia ke masa-masa SMA. Tentang kehidupan yang nyata adanya diantara kita. Tentang tawa yang melebur perih. Tentang hari-hari yang menyimpan banyak misteri...