Bulan segera menghentikan tangisnya. Ia segera mengangkat panggilan itu sebelum kesempatannya menghilang.
"Halo?" Sapa Bulan dengan suara paraunya akibat menangis.
"Jangan nangis lagi. Kayak orang paling sedih di dunia aja. Emang cuma lo yang punya masalah? Emang cuma lo yang sedih? Please, jangan bikin gue malu."
Omelan itu justru membuat Bulan terkekeh. Ia rindu. Rindu suara itu. Bahkan, ia rela jika Bintang harus marah sepanjang hari padanya. Air mata kembali muncul dari matanya, bukan air mata sedih. Tapi air mata bahagia dan haru.
"Jangan nangis lagi! Gue liat loh!"
Bulan mengedarkan tatapannya berusaha mencari sosok Bintang. Hingga suara dari ponsel dan dari belakangnya kembali terdengar.
"Gak usah dicari. Gue di belakang lo!"
Bulan segera menoleh ke belakang dan diam beberapa detik ketika Bintang benar-benar berdiri di belakangnya. Lengkap dengan senyuman cowok itu yang menenangkan. Bulan tersenyum, lalu berdiri dan langsung memeluk cowok itu erat. Masa bodo jika ia terlihat seperti apapun.
Bulan menangis dan mengeratkan pelukannya. "Lo kenapa pergi? I need you. I can't life without you."
Bintang tertawa hambar. "Lebay! Ini buktinya lo masih idup!"
Bintang melepaskan pelukannya. Tapi Bulan justru semakin mengeratkan pelukan mereka. Ia sangat rindu Bintang. Sangat.
...
"Lan, menurut lo, apa lo salah dengan menangis seperti tadi?" Tanya Bintang ketika mereka berada di sebuah taman setelah memutuskan untuk bolos sekolah.
"Kata orang-orang, gue kayak orang kesurupan tadi. Tapi, mereka hanya menilai pakai mata. Mereka gak tau apa yang gue rasain. Yang mereka tau, gue kayak orang kesurupan yang dateng ke sekolah dan tiba-tiba nangis gak jelas. Mungkin, di mata orang lain menangis seperti tadi itu salah. Tapi gue gak pernah menilai itu salah. Memang, menangis gak menyelesaikan masalah, tapi hujan yang turun ke bumi gak melulu merusak. Kadang mereka malah berguna."
"Yap! Gue setuju sama lo! Menangis emang gak bisa menyelesaikan masalah lo. Tapi, lo bahkan bisa gila kalau lo memendam semuanya dan gak mengeluarkannya dalam bentuk tangisan atau hal lain."
Bulan terkekeh. "Berarti gue hebat dong, ya?"
"Tapi jangan kelewatan kayak tadi juga dong! Gue aja ngeri liatnya."
"Kalau lo ngeri, kenapa lo ada di sini sekarang?"
"Karena kepedulian gue ke lo lebih mendominasi daripada ketakutan gue ke lo."
Dan sesederhana itu hati Bulan mulai menghangat.
"Sekarang gue tau alasan lo nyuruh gue ngejauh waktu itu. Alena, right?"
Bulan tersenyum kecil dan mengangguk.
Bintang diam sejenak sampai ia kembali berucap, "Lan, lo harus hati-hati menilai sesuatu. Pertimbangkan penilaian lo itu bukan cuma dari satu mulut. Dan jangan berasumsi sebelum ada bukti."
"Maksud lo?"
"Alena. Dia sahabat baik lo, kan? Apa mungkin kalau Alena yang menjatuhkan lo di depan bokap lo sendiri? Bukannya Alena itu temen curhat lo? Lan, gue mohon pertimbangkan dari lain pihak juga. Gak adil kalau lo cuma mendengar dari satu mulut dan menutup telinga dari mulut yang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)
Novela JuvenilIni kisah tentang Bumi, Bulan, dan Bintang. Kisah yang mungkin akan membuat kalian bernostalgia ke masa-masa SMA. Tentang kehidupan yang nyata adanya diantara kita. Tentang tawa yang melebur perih. Tentang hari-hari yang menyimpan banyak misteri...