Bulan menghabiskan sarapannya dengan terburu-buru. Ia belum mengerjakan PR, jadi niatnya ia ingin menyalin PR temannya.
"Pelan-pelan sayang makannya," ucap Nia mengingatkan anaknya. Bulan tidak mengindahkan ucapan mamahnya, ia justru meminum segelas susu hangatnya sampai habis tak bersisa.
"Mah, Bulan berangkat ya!" Bulan mencium punggung tangan Nia dan menggendong tasnya.
"Iya. Belajar yang bener."
Bulan mengangguk dan menemui Bayu -Papahnya- yang baru saja turun dari tangga, lantas menyalami punggung tangan pria itu. "Belajar yang bener, papah mau kamu yang nerusin perusahaan keluarga kita!"
Bulan berhenti bergerak. Dadanya terasa sesak. Setiap mengatakan masa depan, Bulan merasa bahwa hidup ini tak adil. "Tapi Pah, Bulan udah pernah bilang, kan?" Ucapnya susah payah dengan bulir bening yang siap untuk terjun.
"Apa? Mau jadi penulis? Kamu pikir hidup kamu akan lebih berkecukupan jadi penulis dibanding ngelanjutin perusahaan?"
Bulan memejamkan matanya, tentu saja bulir bening yang sejak tadi tertahan dimuntahkan keluar. "Semua ada resikonya, Pah. Ngelanjutin perusahaan papah pun, kalau Bulan gak bisa, perusahaannya akan bangkrut!"
"Papah bisa ngajarin kamu."
"Tapi pah..."
"Kita bicarakan lain kali lagi. Sekarang, Bulan kan harus berangkat sekolah," ucap Nia menengahi. Jika tidak dihentikan, perdebatan ini tidak akan pernah bertemu ujungnya.
"Bulan berangkat," pamit Bulan dengan suaranya yang parau akibat menangis. Seraya menghapus jejak air matanya, Bulan berjalan ke luar menuju mobil Nia. Ia memang biasa diantar jemput, karena memang Bulan tidak ingin membawa mobilnya sendiri.
Bulan baru saja hendak membuka pintu mobil, tapi suara motor dari luar pagar rumahnya membuat Bulan menoleh.
"Bumi?" Bulan berjalan mendekati cowok itu dan membuka gerbang rumahnya. "Ngapain?" Tanyanya.
"Mau... eh eh eh, itu kamu habis nangis?" Tanya Bumi karena melihat mata Bulan yang terlihat merah.
Sial.
Bumi menyadarinya ternyata. Bulan menggeleng cepat, "Baru bangun mah iya. Gue buru-buru, bahkan mandi aja cuma lima menit. Kesiangan sih."
"Bener?"
Bulan mengangguk dengan mantap. Bumi turun dari motornya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Bulan hingga menyisakan jarak beberapa senti saja. Bulan menahan napasnya, ini adalah kali pertama wajahnya berada sangat dekat dengan wajah laki-laki selain Bayu. Bumi kembali menarik wajahnya, lalu tersenyum mengejek. "Kalau mau bohong jangan ketara dong!"
"Maksudnya?"
"Bulu mata lo basah. Dan kemungkinannya sangat kecil kalo lo emang baru bangun, bekas susu di bibir lo masih nempel sedikit, itu artinya lo udah dari sarapan."
Bulan gelagapan mencari alasan. "Gu-gue mau berangkat. U-udah siang," ucapnya tergagap seraya hendak kembali ke mobil Nia.
Bumi menarik lengannya dan berkata, "Enak aja. Gue dateng jauh-jauh mau nganterin lo. Masa lo nya mau kabur!"
"Tapi, lo kan gak sekolah."
"Emang gue bilang gue mau sekolah? Gue bilang, gue mau nganterin lo. Bukannya mau ngajak lo bareng. Paham?"
Bulan tersenyum tipis lantas mengangguk mengerti. Ia hendak kembali lagi ke pekarangan rumahnya, tapi lagi-lagi tangannya dicekal Bumi.
"Mau kemana lagi?" Tanya Bumi agak kesal. Apakah cewek itu tidak mengerti?
"Mau ngomong dulu sama Pak Joko, terus mau ambil cardigan di mobil mamah."
Bumi mengangguk mengerti dan melepaskan cekalannya. "Jangan lama-lama! Nanti gue kangen!"
"Lebay!"
Bulan membuka pintu bagian kursi tengah mobil Nia untuk mengambil cardigannya yang kemarin sengaja ia letakkan di sana. Lantas, mengatakan pada Pak Joko untuk tidak perlu mengantarnya ke sekolah.
Setelah itu, Bulan kembali menutup pintu mobil. Bersamaan dengan ia yang berbalik, Bayu berjalan ke arahnya. Membuat Bulan kembali menarik napasnya perlahan.
"Kok keluar lagi? Ada yang ketinggalan?" Tanya Bayu karena merasa heran kala Bulan keluar dari mobil.
Bulan menggeleng. "Aku bareng temen, dia nunggu di luar."
"Om?" Bayu dan Bulan menoleh bersamaan ke arah orang yang baru saja mendekati mereka. Bumi tersenyum manis dan menyalami punggung tangan Bayu ramah. "Saya izin mau antar Bulan ke sekolah."
"Jadi kamu yang sering antar-jemput Bulan ke sekolah?" Bayu tahu dari Joko kalau putrinya itu seringkali tidak minta jemput atau diantar, karena bersama dengan temannya.
"Enggak selalu bareng Bumi, sih Pah. Bulan sering juga bareng temen yang lain, cewek juga pernah. Udah, Bulan buru-buru. Assalamu'alaikum!" Bulan melenggang meninggalkan pekarangan rumah diikuti Bumi di belakangnya. Tentunya, Bumi tidak lupa untuk kembali menyalami punggung tangan Bayu.
Sesampainya di samping motor Bumi, Bulan langsung naik setelah memakai helm juga cardigannya. Lalu, motor itu melesat ke jalanan yang mulai ramai menuju SMA mereka.
"Lo ngapain pakai seragam?" Tanya Bulan agak keras, takut suaranya teredam helm cowok itu.
"Biar gak diintrogasi Papah lo."
Bulan terkekeh mendengar alasan tersebut. Ya, encer juga rupanya otak anak nakal satu ini. "Emang kenapa kalo diintrogasi?"
"Nanti gak boleh antar-jemput lo lagi kalo tau gue itu nakal sampai diskors."
Bulan menguraikan tawanya begitu saja. Entahlah, rasa kesalnya tadi pagi menguap begitu saja. Seolah terbang terbawa udara segar di pagi hari yang menyapa kulitnya lembut.
Kepada Bumi tersampaikan bahwa ia ucapkan terima kasih. Ia memang selalu nyaman berada di samping cowok ini. Namun, akankah kedekatan ini berlangsung sampai nanti? Ntahlah, Bulan masih ragu.
"Bumi, lo gak mau tanya kenapa gue nangis?"
"Nggak. Gue gak mau maksa, lo aja gak mau jujur tadi kalau lo habis nangis. Apalagi kasih alasannya, iya kan? Atau, lo mau kasih tau sekarang?"
Bulan menggeleng pelan. "Mungkin belum."
Bulan masih belum siap untuk bercerita pada siapa pun. Biarlah ini menjadi urusannya sendiri. Karena Bulan bukan mau menyebarkan kesedihan. Melainkan sebuah kebahagiaan yang menghangatkan hati setiap orang.
***
Jangan lupa vote sama comment nyaa
Jangan lupa follow ig aku yaa
@zkhulfa_I lup u so much😍
![](https://img.wattpad.com/cover/165676999-288-k897753.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)
Teen FictionIni kisah tentang Bumi, Bulan, dan Bintang. Kisah yang mungkin akan membuat kalian bernostalgia ke masa-masa SMA. Tentang kehidupan yang nyata adanya diantara kita. Tentang tawa yang melebur perih. Tentang hari-hari yang menyimpan banyak misteri...