Alarm ponselnya sudah berkali-kali meraung di samping tubuhnya. Namun, Bulan tak kunjung membuka selimutnya. Sepertinya, ia sedang tak enak badan.
"Bulan? Udah jam tujuh, nak. Kok kamu gak bangun?" Tanya Nia lembut seraya memasuki kamar putrinya. Ia langsung duduk di tepi kasur, saat memegang tangan Bulan, ia terkejut. Suhu cewek itu kelewat panas. Nia meletakkan telapak tangannya ke kening Bulan untuk memastikan. Dan benar saja. Tangannya tak kuasa berlama-lama di kening Bulan karena bisa-bisa terbakar.
"Ya ampun, nak! Badan kamu panas banget! Ayo kita ke dokter!"
Bulan menggeleng cepat. "Bulan kuat, kok. Gak usah ke dokter, nanti telat sekolah."
"Heh! Ngawur! Gak ada sekolah sekolahan! Kamu tidur lagi! Biar Mamah telepon dokter Hadi!"
Setelah itu, Bulan dapat melihat Nia yang berjalan menjauh. Sedangkan ia, kembali masuk ke dalam selimut.
...
Bulan menghembuskan napasnya jengah. Ia bosan di rumah. Ia tidak suka sakit. Ah, mungkin ini efek karena ia bermain hujan kemarin. Demamnya sudah turun sejak tadi siang.
Bulan melirik jam dinding di kamarnya. Sudah menunjuk pukul 02.30. Bulan mengambil laptopnya dri atas meja belajar, lalu berjalan keluar kamar.
Satu persatu anak tangga ia turuni perlahan. Kakinya memang masih cukup lemah. Sesampainya di bawah, ia bertemu dengan Nia yang baru saja mau naik ke lantai atas. "Loh, mau kemana sayang?"
"Taman belakang, Mah. Bulan bosen di kamar."
Nia tersenyum dan mengacak pelan rambut Bulan. "Ya udah, kalau ada apa-apa, kamu jangan diem aja, ya?"
Bulan mengangguk patuh. "Mamah bukannya masih harus di butik?" Ya. Pemilik butik mewah dengan barang-barang elegant itu sangat sibuk dengan butiknya. Tapi, Bulan rasa, Nia masih wajar. Wanita itu masih menyempatkan waktunya untuk Bulan. Tidak seperti Bayu yang selalu berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut. Meski tak selalu begitu, tapi sering.
"Mamah mau ambil handphone, ternyata ketinggalan di rumah. Obat kamu udah diminum?"
Bulan mengangguk. Setelah itu, Nia menaiki tangga dengan terburu-buru. Sedangkan Bulan, kembali melanjutkan langkahnya ke taman belakang. Ketika melewati dapur, ia bertemu dengan Mbok Asih yang sedang sibuk membawa cucian baju.
"Non mau kemana? Kan lagi sakit."
"Mau ke taman belakang doang, Mbok. Oh iya, nanti tolong bawain roti ke belakang ya!"
Mbok Asih mengangguk dan membiarkan Bulan melanjutkan langkahnya. Bulan masih menggendong laptopnya sampai ke taman belakang yang bersebelahan dengan kolam renang. Di taman itu ada sebuah pohon rindang yang dihiasi kursi dari beton mengelilinginya. Di sana juga terdapat bunga-bunga warna-warni juga beberapa kelinci dalam kandangnya. Bula memilih duduk di gazebo dekat kandang kelinci.
Bulan membuka laptopnya dan kembali menghela napas berat. Ia hanya bisa membuka file yang selalu membuatnya sesak. Sebuah angan yang ditentang keras oleh Bayu.
Sepiring roti hadir dari belakangnya, disodorkan kepadanya. Tak seperti kebiasaan Mbok Asih. Biasanya, Mbok Asih akan menyapanya ramah lalu meletakkan piring itu di dekat Bulan. Kenapa sekarang Mbok Asih berbeda?
Bulan mengacuhkan keanehan itu. Ia memilih menerima piring itu dan meletakkannya di samping tubuhnya. "Makasih, Mbok."
"Ternyata lo diem-diem nulis cerita tentang gue, ya?"
Bulan terlonjak kaget. Suara yang sangat familiar di telinganya itu hadir dari belakangnya. Bulan diam dan menutup laptopnya kasar. "Ngapain lo?!" Ketusnya.
Bintang tertawa keras. Lalu duduk di depan Bulan. Berusaha menatap wajah cantik yang sedang kesal itu. "Kok lo sakit gak bilang-bilang?"
Bulan masih diam. Matanya menatap liar ke lain arah. Kemana saja, yang penting jangan menatap Bintang.
"Gue mau baca cerita lo," ucap Bintang seraya turun dari gazebo. Ia beralih untuk melihat kelinci-kelinci berbulu halus di dalam kandang. Sedangkan, cewek itu tak sudi untuk sekedar membalas ucapannya dengan satu huruf pun.
"Tapi, gue gak mau baca sebelum ceritanya selesai." Bintang kembali melangkah. Kali ini, ia menuju ayunan di dekat kolam renang.
Bulan menatap Bintang beberapa saat, lalu kembali membuang tatapannya perih. "Cerita itu gak akan selesai!"
"Gue yakin, ceritanya akan selesai. Yang penting, lo harus konsisten!"
"Tapi gue gak akan bisa, Bintang!" Bulan menatapnya serius. Tapi Bintang masih saja menampilkan wajah sok polos dan santainya.
"Gue gak mau tau. Pokoknya harus selesai. Masa lo kalah sama gue. Gue aja akan menyelesaikan apa yang udah gue mulai. Masa lo nggak?"
"Karena kita beda!"
Bintang menatap manik mata itu. Meski dengan jarak beberapa meter, Bintang masih dapat melihat dengan jelas manik hazel cewek cantik itu. "Sekarang gue tanya. Lo suka nulis?"
"Maksud lo?"
"Jawab aja napa!"
"Iya! Gue suka."
"Apa lo bisa tinggalin hal itu atas kehendak hati lo?"
Bulan menunduk. Ia menggeleng pelan. Sampai kapanpun, Bulan tidak akan pernah sanggup jika harus berhenti menulis.
Bintang tersenyum puas. Ia menyuruh Bulan untuk duduk di ayunan di sampingnya. "Sini!" Panggilnya. Bulan langsung mengikuti ajakan itu dengan membawa sepiring rotinya. Ia duduk di ayunan, sedangkan Bintang malah berdiri dan mendorong ayunan milik Bulan.
"Jangan paksa hati lo buat berhenti. Bukannya berhasil, lo malah akan semakin hancur. Percaya sama gue, siapapun dan apapun alasan lo mau berhenti sekarang, itu cuma ujian, udah seberapa serius lo buat menulis. Semuanya tergantung sama lo, lo pilih buat lulus atau nggak?" Ucap Bintang masih mendorong ayunan Bulan.
Bulir bening sudah menumpuk, hampir saja terjatuh jika tidak berusaha ia tahan. "Ta-tapi... gue gak akan pernah bisa, Tang. Alasannya itu gak mungkin bisa gue lawan."
"Lo punya agama gak sih?"
Bulan terdiam. Tentu saja ia punya agama. "Punyalah bego!"
"Nah! Lo pasti pernah denger, kan. Allah itu gak akan memberi ujian di luar batas kemampuan makhluknya." Bintang berhenti mendorong ayunan. Ia beralih ke depan Bulan, berjongkok di sana untuk melihat wajah itu dari bawah.
"Allah tau, lo bisa lewati ujian ini. Kalau lo emang udah gak sanggup, percayalah. Allah akan bantu lo!" Bintang tersenyum dan menghapus air mata yang jatuh di pipi mulus Bulan.
"Janji sama gue. Lo gak akan pernah berhenti gapai cita-cita lo. Dan lo gak akan pernah berhenti untuk menulis. Gue mau baca cerita gue sampai selesai. Janji?" Bintang mengulurkan jari kelingkingnya. Bulan terkekeh. Tapi, tak ayal jua ia mengaitkan kedua jari kelingking mereka.
"Janji."
"Eh iya, Tang. Gue mau nanya." Ucap Bulan setelah cukup lama.
"Apa?"
"Tadi malem, sesudah gue tidur, lo ngomong apa?"
"Hah? Eng-enggak kok! Lo pasti udah di alam mimpi!"
"Serius? Tapi kok rasanya kayak beneran, ya?"
"Mimpi lo! Orang setelah lagunya selesai, lo udah ngorok. Ya udah gue matiin aja sambungannya."
"Bener?"
"Iyaaaa!"
Bulan mengangguk sekali. Padahal, yang ia semalam dengar itu seperti nyata. Ah, tapi mana mungkin.
***
Tbc
Ig: @zkhulfa_
Dm aja, kalo mau difollbackJangan lupa buat vote sama comment😇
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi, Bulan, Dan Bintang (Complete)
Teen FictionIni kisah tentang Bumi, Bulan, dan Bintang. Kisah yang mungkin akan membuat kalian bernostalgia ke masa-masa SMA. Tentang kehidupan yang nyata adanya diantara kita. Tentang tawa yang melebur perih. Tentang hari-hari yang menyimpan banyak misteri...