Chapter 11

10.5K 1.1K 114
                                    

"Jam tangan yang bagus." Kata Tay seusai memasangkan gelang ditangan Gun.

"Thanks, ini hadiah dari seseorang." Jawab Gun.

Ia tersenyum kecut pada Gun lalu kembali memainkan kameranya, ia tidak perlu bertanya siapa yang menghadiahkannya jam tangan itu karena hanya Off sajalah yang cukup gila dengan membeli jam tangan semahal itu untuk hadiah. Tay membiarkan dirinya mencintai Gun diam-diam. Dan dia tahu mereka tidak akan bisa berakhir bersama karena pada akhirnya yang menang adalah sahabatnya sendiri.

Tidak heran pria kecil itu terlihat familiar, pikir Tay. Figurnya yang mungil, tinggi badannya, rambut hitamnya dan perincian Off soalnya. Mengapa aku tidak pernah berpikir orang itu adalah Gun?

Tay menyesal, ia tidak seharusnya mengajak Off ke ruangan klub fotografi beberapa bulan yang lalu. Jika ia tidak mengajaknya, Off tidak akan pernah bertemu dengan Gun, Gun tidak akan pernah mengenalnya.

Bukan, bukan peng yang salah. Bisiknya dalam hati.

Ia seharusnya bisa lebih berani, jika saja ia berani mengambil langkah untuk maju, mungkin dialah orang yang bisa memperbaiki hati Gun, bukan Off.

Gun menyadari tingkah aneh Tay, pria itu menyentuh kameranya namun tatapannya kosong dan ia terlihat sedang berpikir keras.

"Tay?" Panggilnya.

"Ya?" Tay menoleh ke arahnya. Gun ingin bertanya apa yang salah padanya namun mereka tidak terlalu dekat dan akan sangat tidak sopan jika ia bertanya seperti itu padanya. Jadi ia menggerakan tangannya dan memintanya untuk duduk disampingnya.

"Bisa bantu aku dengan tugas kuliahku?"

"Uh...tapi aku tidak pernah menulis puisi sebelumnya."

"Just try." Kata Gun. "Tidak ada orang lain disini, aku tidak akan mentertawakanmu." Lanjutnya.

"Baiklah, aku berpikir dulu." Tay memutar otaknya. Ia tidak pandai berbicara, terkadang bahkan perkataan yang keluar dari mulutnya tidak masuk akal dan selalu terbata-bata saat ia gugup. "Kurasa aku tidak bisa membuat puisi."

"Aw, kau belum mencobanya."

"Sebentar, aku harus memikirkan kosakata yang bisa dipakai." Ia kemudian memejamkan matanya sambil melipat tangannya seakan ia sedang berdoa. Gun tertawa melihat tingkahnya yang lucu itu.

"Kau bisa mulai dengan membayangkan wajah orang yang kau sukai, biasanya itu membantuku dalam membuat puisi." Gun membantunya, Tay kemudian membuka matanya dan menemukan Gun sedang menatapnya. Ia menaruh kepalanya diatas meja dengan kedua tangannya yang menopang kepalanya.

"You are music, and rivers, and palaces, angels, skies. An endless rose, infinite, intimate and unreachable, like the stars." Kalimat itu keluar dengan mudahnya dari mulut Tay, ia tidak perlu merangkainya karena saat ia melihat Gun dan menyadari bahwa hatinya tidak lagi kosong, kalimat itu keluar begitu saja.

Gun menatapnya lama, ia tersipu malu mendengarnya. Meski ia tahu kalimat itu bukan ditujukan untuknya, ia tetap berdebar mendengarnya terlebih karena Tay mengatakan kalimat itu sambil menatap wajahnya. Sadar bahwa Tay masih menatapnya, ia melepaskan kontak matanya dengan Tay.

"See? Sudah kukatakan tidak sulit untuk membuat puisi, kan?"

"Ya, aku membayangkan orang yang kusuka dan tiba-tiba kalimat itu mengalir begitu saja."

"Kau bisa pindah ke fakultas literatur, puisimu lebih bagus daripada yang Krist buat." Kata Gun, Tay tersenyum mendengar pujiannya. "Aku ingin beli kopi di kafe, kau mau?"

The Campus Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang