"Dokter Hwina, selamat atas jabatan baru anda, Saya sangat mengagumi etos kerjanya dokter"
"Makasih dok, saya juga senang bisa bekerjasama dengan anda"
"Kalo begitu bolehkah saya mentraktir anda makan, ibu direktur?"
"Ah, jangan begitu, tapi maaf. Sepertinya saya tidak bisa"
"Akh, iya. Kalo begitu saya permisi"
"Silahkan..."
Ga kerasa empat tahun sudah berlalu...
Lima belas menit yang lalu gue dipercaya memegang jabatan tertinggi dirumah sakit ini, tapi baru lima hari kedepan gue mulai kerja di kantor yang baru, soalnya gue ambil cuti empat hari.
Huft... Lagi-lagi pindah kantor baru
Empat tahun berlalu...
Tapi sepertinya enggan untuk Jihoon membuka matanya.
Tepat jam dua belas malam besok... Dia berulang tahun yang ke-25, makanya gue cepet-cepet mau ke Jerman guna menjenguk dia, karena gue baru bisa ambil cuti sekarang.
Begitu sampai di rumah sakit sana, Kaki gue melangkah keruangan yang selama ini ditempati Jihoon. Suara hills yang berasal dari gue bergema dilorong yang lumayan sepi. Karena tidak ada orang yang lewat satupun.
Buka pintu dan melempar senyum penuh harapan. Gue duduk disisi kanan dan ngeraih tangan Jihoon yang lembab dan nempelin ke pipi gue.
"Akhirnya aku dipercaya jadi direktur utama di rumah sakit Hoon. Kamu masih ga mau buka mata dan ngasih selamat ke aku?"
"Eumm, kamu tau ga? tadi anaknya si Jinyoung nge video call aku katanya kangen aunty gitu, gemes ih ngelihat anaknya mereka yang kembar. Kamu bangun dong,.. ga mau lihat anaknya kak Woojin, sama Guanlin juga, oiya Daehwi udah mau nambah satu lagi tuh aku lupa cerita"
"Eumm, kamu tau Jeno mantannya si Siyeon ga?, Minggu lalu aku ketemu dia dirumah sakit, anaknya sakit tipes. Oiya, tadi pagi si Justin nelfon katanya dia mau ngebuka rumah sakit sendiri. Kayaknya kamu harus ikut aku kesana deh pas peresmiannya"
"Oiya hun, tadi sebelum kesini aku mampir ke restoran Indonesia yang jual makanan kesukaan kamu, yang dulu sering aku masakin juga buat kamu. Aku-"
Tok tok.
Omongan gue terhenti karena ketukan pintu, gue kaget dong karena yang datang ternyata Felix.
"Hai na!"
"Loh? Elo juga kesini? Kenapa ga bilang? Sejak kapan?
"Elah, too many question lu"
"Hemeh, duduk lu"
"Yoi"
"Lix, Lo kog ga nikah-nikah sih? Jadi perjaka tua mampus lu" kata gue sembari mendudukkan diri di depan Felix.
"Yeuh, mampusin diri sendiri dulu baru gue. Lagian sampai kapan lo nungguin Jihoon bangun? Elo udah hampir dua puluh lima tahun, kalau gue cowok gapapa. Tapi lo perempuan"
"Yang bilang gue banci siapa, gimana bisa gue nikah kalau Jihoon aja masih betah tidur. Lo tuh ada-ada aja"
"Hwina,.. gimana kalo Jihoon ga bisa bangun lagi"
"Felix! Jaga ya bicara lo!"
"Na, lo yang harus ngejaga diri lo sendiri! Dokter bilang kemungkinan terburuk si Jihoon bisa aja ga bangun lagi. Siapa yang bakal ngejaga lo nanti, Lo ga iri ngelihat temen-temen lo pada udah nge-gendong anak!? Sadar na, hidup lo ga selamanya tentang Jihoon aja"
"Ga! Lo salah! Lo salah besar! Sampai kapanpun gue bakal nungguin dia bangun! Jihoon pasti bangun. Dia sayang sama gue. Dia pasti bangun"
"Hwina!"
"Felix cukup! Lebih baik lo pergi. Gue ga mau denger apa-apa lagi dari lo"
"Na, deng-"
"GUE BILANG PERGI!"
...
"Gue sayang sama elo na, gue cinta sama lo, gue suka sama lo. Selama ini gue emang diem! Tapi itu karena gue ngehargain perasaan elo na, gue masih ngehargain Jihoon!"
"Tapi engak buat sekarang. Udah lima tahun... Udah lima tahun lebih lo nunggu dia yang ga tau pasti bakal bangun lagi apa engak. Gue sayang sama lo, itu alasan gue kenapa sampai sekarang gue belom juga nikah-nikah. Gue sayang sama lo! GUE CINTA SAMA LO PARK HWINA!"
"CUKUP FELIX! PERGI! GUE GA MAU DENGER APA-APA LAGI! PERGI!!!!"
Ga! Felix pasti bercanda. Dia ga mungkin kayak gitu
"Na, gue-"
"PERGI!" Felix yang berusaha mendekati gue tersentak karena gue teriak dan mendorong dia.
"Hwina, maafin gue, gue ga maksud bikin lo kayak gini"
"Pergi... Gue ga mau denger apa-apa... Please pergi" lirih gue disela-sela isakan tangis gue yang makin kenceng.
Dengan langkah berat Felix ninggalin gue yang masih terisak di sofa ruangan Jihoon
Jihoon...
Dia pasti bangun.
Dia pasti bangun dan segara ngelamar gue. Dia tau kalau gue nungguin dia selama ini, dia pasti ngerti sebesar apa cinta gue sama dia.
"Jihoon..." Perlahan isakan gue mulai mereda, berusaha berdiri dan duduk lagi di sisi kanannya Jihoon, gue meraih lagi telapak tangan yang masih lembab.
"Bangun hun, hikss, aku takut sama Felix" lirih gue.
Hanya sebentar untuk gue menenagkan diri. Banyak pekerjaan yang harus gue pegang tapi enggan gue berdiri ninggalin Jihoon disini.
"Jihoon... Bangun... Aku kangen sama kamu,.. aku pengen kita ketaman sakura bareng kamu, please... Bangun"
Seberapa sering gue nangis, emang ga bisa ngubah apa yang dikehendaki Tuhan, tapi kali ini gue bener-bener berharap, Tuhan gue bisa ngabulin permintaan gue, gue sangat berharap Tuhan menyuruh Jihoon untuk bangun dan cepat-cepat memberikan senyum sumringah ke gue
Tapi...
Bukannya bangun, Jihoon malah kejang hebat. Gue yang panik segera memencet tombol panggilan darurat biar ada dokter yang nolongin.
"Jihoon.. kamu kenapa!? Hun... " Tangan gue nge-gengam erat ditangannya, air mata yang baru aja kering sekarang udah jatuh netes lagi.
Setelah dokter datang gue reflek mundur dan terduduk di sofa. Salah satu suster yang kesini berusaha menenagkan gue.
Tapi ngelihat Jihoon yang kejang gue takut. Sebelumnya memang pernah tapi kali ini entah kenapa perasaan gue ga enak. Gue harap itu cuma perasaan aja.
"You're his fiancé?" Tanya dokter sehabis nanganin Jihoon.
"Yes, I'm. What happened to my fiancé?
"Patients show positive symptoms that he will soon wake up"
"Really?"
"Yeah, we wait for the response and after which we will do the GCS test"
"Oh.. Thanksgiving! Thank you very much, doctors"
"It's been my obligation. I excuse first"
"Yes, Please"
Gue menghampiri Jihoon dan mengusap rambutnya penuh kasih sayang. Sebisa mungkin gue senyum dan membisikkan beberapa kata di telinga Jihoon.
"Aku disini... Aku nungguin kamu disini, Jihoon. Aku ga akan ninggalin kamu. Udah waktunya bangun, sayang..."
