"Hwina..."
Jihoon!
Iya, itu suaranya Jihoon
Suara yang selama ini gue kangenin. Suara lembut yang biasanya selalu meyapa dan gue dengar setiap hari. Suara yang enam bulan belakangan tidak pernah gue dengar, kini kembali terdengar dengan indah dan sangat nyata.
"Jihoon..!" Gue yang baringan di sofa masih syok dengan apa yang gue lihat. Jihoon baik-baik saja, sudah sehat, dan bisa tersenyum manis ke arah gue.
Perlahan gue berdiri, menghampirinya Jihoon yang seperti sedang menunggu gue.
Dari jarak dekat gue menundukkan diri ke badan Jihoon, dan tidak lama gue merasakan usapan lembut di punggung.
Pelukan yang sangat sangat sangat gue rindukan, aroma tubuh yang selalu ada di pikiran gue, dan badan gembul yang selalu menjadi favorit gue.
Tidak terasa air mata gue jatuh, bersamaan dengan Jihoon yang melepas pelukan, sejurus kemudian mengusap pelan kedua pipi gue yang basah karena air mata.
"Hwinanya Jihoon ga boleh nangis" lirihnya dengan tatapan penuh harap. Gue hanya mengangguk dan segera melempar senyum semanis mungkin, meskipun air mata masih sangat sopan mengalir.
"Hwina kangen Jihoon" balas gue dengan mimik muka cemberut dan kedua tangan yang juga menangkup pipinya yang masih gembil.
"Hwina, dengerin Jihoon ya..."
Gue mengangguk dan menatap mata Jihoon serius.
"Gaboleh nangis, aku tau kamu kuat. Tungguin aku ya, na. Kamu harus janji sama aku. Seberat apa pun beban kamu, kamu ga boleh nangis. Hwina-nya Jihoon bukan orang yang lemah, pokoknya kalau kamu sedih nanti aku tambah sedih"
"Kamu adalah wanita terhebat yang pernah ada. Kamu itu berlian-nya dunia. Kamu adalah permata yang sangat sangat berharga. Maaf aku ga bisa jagain kamu. Aku emang ga berguna. Aku bener-bener minta ma—"
"Engak! Jihoon-nya Hwina ga salah, aku sayang sama kamu. Sayang banget, jadi, kamu gaboleh ngomong kayak gitu lagi. Ga! Aku ga mau denger pokoknya"
Jihoon melempar senyum manis lagi
"Aku harap kamu bisa jaga diri, sebisa mungkin aku bakal nemuin kamu. Tungguin yaa..?"
"Kamu mau kemana?"
Bukannya ngejawbab pertanyaan gue, Jihoon menurunkan tangannya dari pipi gue dan berjalan mundur. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Jihoon jatuh dari balkon kamar rumah sakit ini.
"JIHOON...!!! —"
Sialan!
Gue cuma mimpi anjir!
Gue ternyata masih terduduk di sofa dan meliat Jihoon masih setia berbaring di ranjang dengan tenangnya.
"Jihoon..." Sekuat tenaga gue menghampiri dia dengan langkah gontai dan tubuh bergetar hebat.
"Hiks, maaf... Maaf... Maaf... Hikss, aku— aku mungkin gabisa hikss... Maafin aku...."
Pagi ini.... Gue mengawali hari dengan tangisan dan rasa sakit di hati yang sangat ngilu. Rasanya benar-benar seperti yang down banget.
Untuk pertama kalinya dalam enam bulan ini, Jihoon menemuin gue dalam mimpi, gue masih binggung,... Apakah ini mimpi? Atau emang pesan yang benar-benar ingin Jihoon sampaikan ke gue.
Yang jelas, gue masih ga percaya. Tunangan gue terbaring lemah dengan segala alat penyokong hidup. Gue hanya sedih, masih tidak terima dengan segala hal yang terjadi.
**
"Dokter, ini jatahnya Altha kemoterapi?" Itu suara kak Ong. Iya... Soalnya dia juga kerja disini, dia aslinya ini dokter spesialis jantung. Jadi kalau kalian kena serangan jantung gegara lihat oppah-oppah bisa berobat ke dia.
