Berhari-hari gue tidak menyentuh makanan dan hanya duduk memandangi wajah Jihoon, menggenggam tangannya erat berharap dia bisa cepat-cepat siuman.
Semua orang berusaha menghibur gue, berusaha membuat gue makan. Tapi ga! Jihoon aja ga makan, dia sekarang lagi berjuang antara hidup dan mati, gimana bisa gue makan?
Soal lamaran pekerjaan, ada salah satu rumah sakit yang mengkonfirmasi lamaran gue, dan itu di Singapura. Gue sudah bilang ingin mencabut saja, tapi tidak semudah itu, merek bilang telat kalau ingin dicabut waktu itu soalnya udah keterima duluan.
Yang terbang ke Singapura mamah, soalnya gue bener-bener kayak mayat hidup bahkan udah kayak patung. Hanya duduk mengengam tangan Jihoon, meluk tangan Jihoon, mandangin wajah Jihoon, dan gue jarang mandi.
Mamah bilang ke pihak rumah sakit kalau gue lagi ditimpa kemalangan, pihak rumah sakit tidak ingin memberikan pengertian dan mereka menuntut gue dengan sejumlah uang karena sudah melanggar aturan kerja gitu.
Ga masalah, awalnya mau dibayar sama mamah tapi gue bersikeras pakai uang tabungan gue aja dan mamah mengurus semua sesuai permintaan gue.
Tok... Tok... Tok...
Gue melempar pandangan malas ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang. ternyata Leo dan Justin yang datang. Mereka membawa buah tangan dan di letakin di atas meja.
Gue masih diam memperhatikan mereka berdua sampai si Justin menepuk pelan bahu gue dan merentangkan tangannya.
Dia memberikan dukungan lewat pelukan hangatnya, gue mengangguk dan memaksakan satu senyum yang sangat berat. Terus Leo. Dia juga memberi semangat lewat pelukan dan usapan lembut di belakang kepala gue.
"Gue tau lo cewek yang kuat"
Gue melepas pelukan Leo dan balik duduk lagi. Untuk berdiri saja gue tuh ga ada tenaga, mereka berdua duduk seberangan sama gue dan mulai nanya-nanya. Terus si Justin bilang
"Sumpah, waktu kuliah dulu gua gapernah ngelihat Hwina se-sedih ini. Meskipun dia banyak diem tapi kalau sama kita dia selalu bisa menghadirkan suasana ceria. Gue ga pernah ngebayangin hal ini bakal terjadi"
Leo mengangguk tanda dia setuju. Gue menatap mereka datar dan melempar senyuman yang kali ini tulus dari hati gue, meskipun tidak selebar biasanya.
"Sebelumnya makasih banget kalian mau jauh-jauh kesini. Gue gapapa kok, gausah khawatir. Jihoon pasti cepet siuman"
Kami lanjut mengobrol agak lama, gue merasa sedikit terhibur dengan kehadiran mereka berdua. Gue merasa bersyukur banget mereka masih mengingat gue sebagai temennya.
"Kalian mau langsung balik?"
"Kita nunggu Bastian, Jou, Greta, sama Nathalie" begitu mendengar nama yang sangat gue rindukan, gue tersenyum haru. Mereka orang-orang yang membantu gue sukses, dan selalu ada ketika gue terpuruk. Gimanapun juga gue sayang sama mereka.
Btw, mereka semua masih kuliah yang mengambil akselerasi hanya gue saja. Dan tadi Leo sama Justin kesini barengan tapi mereka berlima kehabisan tiket dan kemungkinan besok baru dateng.
"Kalian mau tidur dimana?"
"Hotel di deket sini ada ga ya?"
"Ada kok, biasanya dibuat para artis yang dateng ngadain konser di indo. Ga jauh dari sini. Cari di Google map aja"
Beberapa saat mereka pamit dan giliran yang dateng Jinyoung Siyeon sama Nahee Guanlin mereka membawa cake kesukaan gue, sedikit demi sedikit gue mau nerima suapan dari Siyeon, terus sama Guanlin gue ditawarin makan nasi yang gue tolak dengan gelengan kepala.
"Gue tau Lo sedih, tapi jaga kesehatan juga na. Lo gabisa kalau ikutan sakit. Lihat deh muka lo, pucet banget gitu" kata Guanlin
"Gue—"
"Kalau lo sakit, siapa yang jagain Jihoon?"
Gue agak terenyuh dengan perkataan Jinyoung, ada benernya juga. Gue akhirnya dibantu Siyeon untuk membersihkannya badan, lalu gue juga di suapin nasi sama Nahee.
"Kami pamit ya,.. Lo hati-hati disini"
Gue mengangguk, kali ini gue berdiri untuk mengantar mereka sampai keluar kamar. Sebelum pergi empat orang itu bergantian memberi gue pelukan hangat, gue memang sedih tapi benar yang Jinyoung omongin.
Gue ga boleh berlarut-larut, karena roda kehidupan pasti jalan terus. Gue harus bangkit. Gue harus yakin kalau Jihoon bakal siuman dan kami bakalan cepat nikah. Pasti.
**
Paginya semua teman dari Amerika datang,. Nathalie, Greta, Jou, Bastian. Leo dan Justin juga ikut.
Mereka memberi gue kata-kata dorongan agar gue tidak selemah ini, dan oke. Hari ini gue bakal bangkit pelan-pelan.
Kehadiran teman-teman yang sangat berharga cukup berkesan untuk hari ini. Secara tidak langsung hati gue tergerak untuk melangkah maju, gue ga bisa terpuruk terlalu lama
.
.Malamnya mamah papah Jihoon datang, sehabis pulang dari kerja mereka setiap hari memaksa gue untuk tidak harus menjaga Jihoon setiap waktu, katanya gue punya kehidupan sendiri.
Tapi kehidupan gue ada pada Jihoon, jadi gue tidak bisa hidup kalau tidak ada Jihoon.
Dua hari setelahnya gue melamar pekerjaan dirumah sakit yang ditempatin Jihoon. Dalam jangka satu minggu diterima magang jadi asisten dokter spesialis kanker darah.
Hal ini mengingatkan gue akan skripsi yang gue kerjain satu tahun lalu. Gue KKN di salah satu rumah sakit di New York bareng Justin sama Nathalie.
Setiap ada waktu gue pasti sempetin buat menjenguk Jihoon. Dan gue sudah mau pulang ambil baju. Tidur? Selama hampir sebulan gue tidur disini terus. Walaupun rasanya berrongga banget, gue tetep menjalani hari-hari dengan baik.
Gue rasa itu sebuah keharusan, biar hidup gue bisa maju.
Mamahnya Jihoon udah maksa buat tidur dirumah tapi gue tetap keras kepala mau nungguin Jihoon. Soalnya dokter bilang Jihoon tida akan sadar dalam waktu dekat, itu yang membuat gue semakin khawatir.
Setiap hari gue mengajak bicara Jihoon, apapun itu. Gue begitu karena percaya kalau orang yang koma bisa mendengar suara sekitar. Gue yakin setiap hari Jihoon pasti mendengar suara gue.
"Hwina, kamu malem ini tidur dirumah aja, kasihan kamu pasti capek"
"Gapapa mah, aku disini aja"
"Engak, biarin mamah gantian yang jaga Jihoon. Jihoon anak juga mamah na. Mamah ga mau kamu ikutan sakit, seharian ini kamu udah kerja dan berusaha jagain Jihoon. Kamu pulang aja ya"
Setelah dipaksa kayak gitu gue diantar sama papah Jihoon soalnya mamah Jihoon mau sendirian sama Jihoon sampai besok.
"Pasti berat banget buat kamu ya na?"
Gue hanya melempar senyum tipis dan mengangguk sebagai jawaban. Setelah kami sudah, tinggal masuk rumah, tiba-tiba gue ditahan sama papah.
"Makasih banyak, udah ngejaga anaknya papah"
"Hwina sayang sama Jihoon" tiba-tiba air mata gue turun lagi. Puncak kepala gue diusap lembut sama papah.
"Papah tau itu, Jihoon pasti bisa ngerasain rasa sayangnya kamu ke dia. Dia pasti bakal bangun dan segera lari ke pelukannya Hwina"
Papah mengusap pelan tangan gue. Dan dipeluk lagi, sebelum gue masuk ke rumah.
Seenggaknya, gue masih ada harapan...
Jihoon bakal sadar
Dan lari ke-pelukan gue...
