"Nduk, intine wong wadon kuwi kudu isa masak, macak, lan manak..."
Si Ibu mengulang wejangan kuno yang berasal dari mendiang ibunya sendiri entah untuk yang ke berapa kalinya. Wejangan yang sudah dituturkan dari generasi ke generasi.
Ia dan putrinya sedang sibuk di dalam dapur mempersiapkan makan malam dengan mempertahankan cara yang masih tradisional.
Ketika sudah tersedia rice cooker digital dengan berbagai menu pilihan dan cukup mudah digunakan, Si Ibu tetap mempertahankan cara memasak nasi dengan di-aron. Alasannya, 'ayahmu lebih suka nasi aron'. Padahal menurut sang putri, rasanya sama saja.
"Iya, Bunda..." Airin menyendokkan nasi ke dalam wadah dengan hati - hati sehingga tidak merasa perlu memperhatikan Ibunya.
Wanita yang lebih tua itu merespon dengan lirikan menuduh tapi lantas kembali berkata, "masakan kamu kan enak," lalu ia meraih dagu putrinya agar bisa memperhatikan parasnya sekaligus diperhatikan nasihatnya, "nggak sedikit juga yang bilang kamu perempuan paling cantik di sini..."
Airin sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini, dengan perlahan ia kembali mengalihkan perhatiannya ke dalam dandang yang sudah kosong. Sial!
"Jadi Jeng Anjani sudah hampir dapat mantu bagus, tapi anaknya juragan juga belum kelihatan memilih pengganti."
"Airin nggak buru - buru, Bun... kan masih ada kuliah. Airin masih harus magang, ujian skripsi, wisuda, kerja."
Tapi Ibunya seakan tidak mendengar, "menjaga suami itu tidak dengan gelar yang kamu miliki. Suami senang kalau diberi makan enak, lihat istrinya berpenampilan pantas, dan bisa beri keturunan yang sehat. Pandai bicara sama saja dengan pandai membantah, biasanya suami tidak suka."
"..."
Ibunya tersenyum kala mengenang, "seumuran kamu, Bunda sudah punya kamu dan kakakmu. Ayah senang sekali, sudah nggak kepingin apa - apa lagi."
Memikirkan itu buat senyum samar muncul di bibir putrinya, "pantes... sampai sekarang Ayah sepertinya sayang banget sama Bunda. Nggak luntur."
Senyum di bibir Ibunya terasa sedikit misterius, senyum itu tidak mencapai matanya ketika berkata, "Bunda mendedikasikan hidup untuk suami dan anak - anak Bunda." Ketika Airin menopangkan dagu di lutut ibunya, rambutnya dibelai dengan lembut, "Bunda selalu menjaga apa yang Bunda miliki. Itu yang akan selalu Bunda ajarkan kepada kamu."
Hal itu buat Airin berpikir, apa yang sedang ia miliki saat ini? Kebebasan menentukan cita - cita saja ia tidak punya.
Suami! Suami seperti apa yang ia inginkan untuk dimiliki kelak? Sayangnya, tampang anaknya juragan yang bernama Arlan tidak muncul dalam benaknya.
"Ngomong - ngomong, kemarin Jeng Anjani minta kamu jadi pager ayu." Bunda mengumumkan, "kalau kamu nggak mau juga gapapa."
Termenung sejenak, benaknya memikirkan Kumala, kemudian resepsi pernikahan Isyana dan Tria kala itu, kemudian teman kantor Kumala, kemudian lingkaran sosial Kumala dan calon suami yang ia banggakan.
Airin menegakkan kepala dan tiba - tiba saja jantungnya berdegup lebih cepat antara senang dan gelisah.
"Mba, jangan mau digodain bos saya. Orangnya jahat."
Teringat olehnya gurauan Kumala kala menggoda pasangan pengiring pengantin Airin waktu itu. Pria tampan yang berwibawa itu adalah atasan Kumala.
"Airin mau, Bunda." Airin menjaga agar suaranya tidak terdengar terlalu bersemangat.
Ibunya mengangguk lesu lalu mulai bergunjing lagi, "Kumala itu aneh ya-" Airin kembali menopang dagu di lutut ibunya.
"...ada anaknya juragan malah pilih duda. Begitulah kalau perempuan mikirin karir terus, nggak kerasa sudah jadi perawan tua,"
Airin sama sekali tidak mendengarkan ocehan ibunya. Pikirannya berkelana pada pria yang masih ia ingat dengan jelas, yang kini gencar memenuhi benaknya. Tiba - tiba saja bibir itu mengulum senyum, merasakan kerinduan aneh pada seseorang yang hanya ia jumpai satu kali lalu berpisah tanpa janji.
Mas Pandji...
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody
RomanceGenre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji pria yang dianugerahi semua unsur kelaki-lakian tak kurang satu apapun: rupawan, maskulin, bergairah, berstrata tinggi, cerdas, pemikat. Yan...