(24) Tempat Selingkuh

34K 3K 463
                                    

"Putrane ana pitu-" (anaknya ada tujuh-)

Pandji mengerjap pelan mendengar Airin terkesiap di sisinya. Mereka sedang mengunjungi Ki Darmadi, tetua di kampung yang diyakini memiliki penglihatan jauh ke depan tapi bukan visioner. Dan Pandji datang kemari dalam rangka mengunjungi pria renta yang sakit karena terjatuh dari pohon karet setinggi kurang lebih lima belas meter tapi tidak meninggal. Sudah menjadi kewajibannya memperhatikan penduduk kampung di bawah trah Adiwilaga.

Pandji merasakan remasan tangan Airin di lengannya saat Ki Darmadi melanjutkan, "pitung puluh turunan bakal slamet yen kangmas disandingake karo nduk ayu niki." (tujuh puluh turunan akan selamat jika Kangmas bersanding dengan anak perempuan cantik ini)

Airin tersedak tawa tertahannya dan ia mendapat teguran dari Pandji, "nggak boleh ngetawain orang tua!"

"Maaf, Mas." Gumam Airin menyesal namun tetap tak dapat menutupi garis tawa geli di sudut bibirnya. Di jaman serba modern ini masih ada saja orang yang percaya pada 'terawangan'. Kadang bangsawan bisa unik juga.

Pandji menyudahi kunjungannya, memberi santunan kepada pria renta itu dan keluarganya serta memohon restu agar niatnya melamar Airin dilancarkan.

"Disandingake mawon, mboten usah emah - emah," (dijejerin aja, nggak usah dinikahin) seru Ki Darmadi saat sepasang sejoli itu meninggalkan ruangan, dan berhasil buat Airin terkesiap kesal, ia menoleh ke belakang dengan sorot mata setajam belati pada pria renta katarak itu, wah... cari mati nih orang tua!

"Udah, nggak usah dipikir." Bisik Pandji sembari menarik Airin meneruskan langkah keluar dari rumah kampung bergaya Jawa kuno itu.

Dari dalam terdengar gelak tawa si renta yang kemudian mencari - cari piaraannya, "kadhalku endi?"

"Tadi Airin udah kaget diramal anaknya bakal tujuh Mas," bibir manis itu mengurai senyum yang buat Pandji tak ingin berpaling saat mereka berjalan kaki kembali ke rumah induk. "Lagian aneh juga, udah jaman modern gini kalian percaya terawangannya Ki Darmadi."

Alih - alih membela diri bahwa ia tidak sedang percaya terawangan tapi hanya menghormati, ia lebih tertarik pada nada tidak suka Airin saat membicarakan kemungkinan jumlah anak mereka di masa depan.

"Kenapa kalau tujuh?"

Airin mencubit gemas lengan prianya, "tujuh itu banyak, Mas. Pemerintah anjurinnya dua aja."

"Tapi kalau memang dikasihnya tujuh jangan ditolak, Rin."

Airin melirik curiga kekasihnya, "kok kayanya kamu pasrah gitu, Mas?"

Pandji tersenyum miring membuat Airin kian penasaran, "tujuh tuh dikit. Kalau hidup di jaman dulu, saya bisa punya istri empat, selir saya empat puluh-"

"Mas!" kuku Airin menusuk tajam lengan Pandji.

"Maksudnya, anak saya pasti sudah lebih dari tujuh kalau hidup di jaman dulu."

Gadis itu menatap serius pada wajah kekasihnya, "Mas nggak berniat ikuti jejak leluhur Mas Pandji, kan?"

Pandji pura - pura mempertimbangkan, "kalau istrinya empat dan selirnya empat puluh, bisa dibayangin dong sebesar apa libidonya leluhur saya sampai harus ditanggung bareng - bareng gitu."

"Kamu mau ngomong apa sebenarnya?" Airin menolak meneruskan langkah, ia bersandar pada pohon Asam Jawa menunggu Pandji menjelaskan maksudnya.

Pria itu mendekat, menumpukan satu lengan di sisi kepala Airin, lalu memiringkan wajahnya. "Karena sepertinya calon istri saya nggak mau dimadu, jadi tugas empat puluh empat perempuan tadi bakal ditanggung kamu seorang. Sanggup?"

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang