(9) Sst! Kita Jadian.

39.9K 3.8K 318
                                    

Sebenarnya Airin tidak tahu bagaimana cara yang tepat menghadapi hari setelah Pandji menciumnya. Ia tak bisa memandangi wajah Pandji tanpa teringat kejadian malam itu. Bahkan ia mengulang dalam benak sensasi ketika pria itu menciumnya, desah napas Pandji saat mengulum bibirnya. Pria itu seakan tak mau melepaskannya sebelum puas dan sayangnya yang Airin bisa lakukan saat itu hanya diam terkesima.

Pandji cukup dewasa dalam mengutarakan kemauannya, walau apa adanya Pandji tak pernah memaksa. Seduktif, iya. Dia memang memiliki senyum dan suara yang membuat Airin sanggup memikirkan hal - hal dewasa hingga jari kakinya menekuk dalam setiap kali ia membiarkan benak liarnya berkelana.

Airin mengetuk kepalanya dengan pulpen, bukankah sekarang ia harus fokus menemukan judul skripsi baru sekaligus literatur dan contoh studi kasus yang baru supaya cepat lulus? Dengan adanya musibah bisnis ini Airin praktis mengesampingkan idealismenya. Ia hanya ingin menyudahi kuliah dan mendapatkan ijazah.

Deru mesin Juke di depan rumah kembali mengacaukan konsentrasinya. Sialan! Tapi aku senang...! Sesuatu dalam diri Airin melonjak kegirangan hanya karena pria itu pulang. Ia tak dapat menahan diri untuk ke depan dan menyambutnya.

Airin tersenyum senang walau alisnya bertaut samar, "Mas, kok udah pulang?"

Pandji menahan senyum saat menaikki tangga di teras menjajarinya, "kenapa? Nggak boleh?"

Bibir Airin tersenyum ketika Pandji membuntutinya masuk ke dalam, entahlah, pria itu suka berada di belakangnya. "Bukan gitu, Mas. Ini masih jam empat, Airin belum siapkan makan malam. Kamu udah laper?"

"Belum," jawabnya sambil berdiri di ruang tengah, ia melepaskan ikat pinggangnya lalu duduk sofa, "tumben pegang buku."

Gadis itu tergelak ketika mengulurkan segelas penuh air dingin kepada Pandji, "ya emang kenapa?" ia duduk di tempatnya kembali, "Airin kan masih mahasiswa juga, walau sedang cuti."

"Ya nggak pantes aja kamu pegang buku," Pandji sengaja mengejeknya. Senang malah.

"Iya, Airin memang nggak pinter." Ia merajuk kesal, "nggak heran SPP kuliahku mahal. Aku mandiri golongan tiga, Mas, maklumin aja kalau aku bodoh."

Pandji pura - pura tidak peka. "Masuk akal sih. Nggak adil aja kalau orang secantik kamu punya otak secerdas Einstein."

Airin berdecak lalu melengos. "Cantik tuh relatif, Mas. Airin nggak cantik," bibirnya kian mengerucut sedih.

"Cantik memang relatif, tapi khusus kamu, cantiknya mutlak."

"Nggak usah gombal. Mending Mas Pandji minta maaf deh."

"Minta maaf karena bilang kamu cantik mutlak? Dih, nggak mau."

"Ish!"

Tiba - tiba saja Pandji merebahkan tubuh, membaringkan kepalanya di paha Airin tanpa canggung seolah mereka sudah lebih dekat daripada sebelumnya.

Merasakan gelitik rambut Pandji yang menembus celana kainnya buat paha Airin merapat. Bahkan ia tak berani bernapas untuk sementara.

Tapi pria itu sama sekali tidak merasa ada yang salah, bahkan ketika jemarinya memainkan ujung rambut Airin yang tergerai di dekat payudara gadis itu.

"Saya jarang lihat kamu pegang buku, jadi kaya nggak cocok aja." Pandji mendapati Airin bingung atas tindakan kelewat batas ini. Ia menahan diri untuk melirik jari Airin yang bergerak ragu ke ujung rambutnya, Airin ingin balas menyentuhnya dan akan ia nanti dengan sabar.

"Terus Airin cocoknya ngapain?" pertanyaan itu terasa hampa. Benak Airin berpencar meresapi kehangatan Pandji di pahanya, tekstur rambut Pandji di ujung jarinya, serta keinginan untuk membelai wajah itu.

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang