'Kamu manusia jahat, Mas. Kamu nggak boleh sentuh aku satu bulan!' -Airin
Bahkan pesan bernada marah itu tak menghapus senyum tolol yang menghiasi bibir Pandji selama empat hari terakhir. Di kantornya yang sedang sepi ia meregangkan tubuh, ia nyaris masih bisa merasakan nyeri marathon seks hari itu.
Setiap kali memejamkan mata, ia teringat pada sosok Airin yang tidak ia kenal. Sosok yang membuatnya tercengang lama, sosok yang tak boleh diketahui siapapun bahkan jika kelak Airin sudah bersuami.
Beautiful Bitch! Pandji menjuluki sosok rahasia itu. Mungkin Airin sendiri tidak menyadari sosok itu ada pada dirinya.
Kepala Pandji pening karena puas. Kepuasan yang bertahan berhari - hari. Tidak masalah jika Airin menghukumnya hidup selibat selama satu minggu—karena Pandji tidak terima dihukum sebulan. Hehehe! Cengiran itu muncul lagi. Sial! Kamu itu pimpinan cabang.
Ketika Airin menungganginya di mobil dan menciumnya dengan tiba - tiba, Pandji merasakan sisa Cola di bibir gadis itu. Ia terkesiap, "kamu minum Cola-nya Mas di kulkas?"
Jawaban Airin pun berupa desah berat yang dilakukan sambil mencubit puting Pandji, "he'eh, aku haus. Haus kamu, Mas!"
Mampus!
Ia sudah mengurungkan niat untuk tidak melibatkan obat itu. Memang, mulanya ia membayangkan make up sex spektakuler dengan membawa turun cairan setan yang sudah hampir expired itu—sayang jika dibuang, belinya mahal. Tapi kemudian mereka bertengkar dan Pandji menyingkirkan minuman soda itu, untuk sementara berpikir tak ada seks saat itu.
Obrolan dari hati ke hati berhasil memperbaiki mood bercinta mereka dan Pandji berpikir tidak dibutuhkan bantuan ramuan soda itu.
Lantas, apakah menjadi salah Pandji jika Airin yang mengambil sendiri ramuan itu? Jelas! Bagi Airin, Pandji selalu salah. Setelah semalam menjerit minta dipuaskan lagi dan lagi, 'aduh! Airin kaya pengen pipis. Hm... mau lagi'. Tapi di hari berikutnya ia bersungut - sungut ingin membunuh Pandji, 'kamu punya racun tikus nggak, Mas?' Yang bisa pria itu lakukan hanya tersenyum bahkan tertawa, seks semalam sudah seperti candu baginya, sekarang dia sedang 'nge-fly' kalau bukan 'hangover'. Aduh, kapan - kapan pengen lagi.
Pandji melirik pada cermin di dinding ruang kerjanya, mengamati bekas gigitan Airin di pipinya. Sial! Airin bukan lagi memberinya kiss mark, tapi bekas gigitan seperti zombie yang mengundang tanya bawahannya di kantor pada keesokan hari. Bahkan ia mendengar sindiran Riang, 'mainnya keras!'
Sekedar informasi, setelah ia dan Airin resmi berpacaran lagi, Pandji dikenal sebagai atasan kejam yang menikung gebetan bawahannya, para pria harap waspada. Tapi Pandji sama sekali tidak peduli.
"Senyum - senyum lagi," tegur Wanda iseng saat mendatangi ruangannya, "itu... bekas lukanya mau ditutupin pakai foundation, nggak?"
"Nggak perlu, udah pada tahu juga." Tolak Pandji, "lo nggak ikutan mikir kalau gue tukang tikung, Wan?"
Wanda sok berpikir sebelum menggeleng, "nggak sih. Kan ceweknya suka sama Bapak dari awal, apanya yang ditikung?"
Pandji merasa cukup terhibur. "Jadi gimana debitur lo yang resek itu?"
"Oh-" Wanda membanting dokumen di atas meja Pandji, "saya angkat tangan, Pak. Di-take over aja ke yang lain, dan kalau bisa cowok."
"Kenapa?"
"Dia pelototin bokong dan dada saya terus, Pak. Udah bawel, mesum lagi."
Pandji diam sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal, siapa yang nggak, Wan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody
RomanceGenre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji pria yang dianugerahi semua unsur kelaki-lakian tak kurang satu apapun: rupawan, maskulin, bergairah, berstrata tinggi, cerdas, pemikat. Yan...