Airin tersenyum lebar mendapat pujian yang tak henti mengalir dari penguji skripsi dan didukung oleh dosen pembimbing satu. Mereka mengagumi hasil karyanya juga kemampuannya menguasai materi. Tidak ia sangka akan mendapatkan penghargaan seperti ini mengingat otaknya yang pas - pasan.
Sementara itu Danuarta James si dosen muda idealis yang menjadi pembimbing dua hanya memperhatikan tanpa ekspresi. Saat mengucapkan selamat pun terkesan setengah hati. Tidak masalah.
"Benar ini ide kamu?" sejak awal Danuarta skeptis dengan kemampuan Airin, bahkan ia meragukan judul yang Airin ajukan. "Kamu yakin sanggup mengerjakan ini? Kalau mau ujian gelombang satu waktunya tinggal dua bulan lho."
Dahulu Danuarta terkesan meremehkannya, tapi sekarang pria itu lebih banyak diam. Senang rasanya membungkam orang yang pernah merendahkan kualitasnya.
Airin merapikan laptop dan berbagai literatur penunjang sementara para dosen bergerak meninggalkan ruangan. Kecuali Danuarta, ia mendatangi meja presentasi.
"Udah dilamar sama yang buatin skripsi kamu atau masih pikir - pikir dulu?"
Airin terdiam, ia memandang wajah dosen blasteran itu dan merasakan adanya konfrontasi. Rupanya pria itu berniat menyerang Airin secara pribadi. Sejak awal Danuarta memang tidak berniat mengakui kemampuannya.
"Kalau memang kamu tidak terburu - buru, sepertinya saya membutuhkan asisten. Selain itu saya bisa berikan rekomendasi untuk kamu lanjutkan S2, kamu bisa coba apply beasiswa."
Apa? Itu tawaran yang sangat menarik, mungkin masih ada kesempatan untuk Airin menjadi wanita yang mandiri, terbebas dari pengaruh kekasihnya yang berkuasa. Tentu saja Pandji akan sangat murka jika Airin mengambil kesempatan itu bahkan mereka bisa putus. Tapi kapan lagi Airin bisa membuktikan bahwa dirinya mampu? Toh, kalau jodoh tak akan kemana. Mungkin masih ada 'Pandji' yang lain, yang lebih pantas untuknya.
Airin sangat tergoda membayangkan dirinya berhasil meraih gelar master, menjadi dosen di salah satu kampus, bekerja sebagai akademisi yang tidak hanya berkutat dengan urusan macak, masak, manak, tapi dengan jurnal dan kopi. Sebuah gambaran sempurna dari mimpinya selama ini.
Akan tetapi Danuarta tidak tahu kisah di balik layar pembuatan maha karya itu...
"Ayo, Mas, buka mulutnya!" pintaku sebelum menyuapkan nasi dan ayam goreng ke dalam mulutnya menggunakan jari.Sejak Mas Pandji bertekad menyusun skripsiku, kupikir itu hanya semangat angin - anginan semata. Sebagai mahasiswa, itu yang kurasakan. Ternyata Mas Pandji serius dengan ucapannya. Ia yang memegang proyek ini sementara aku kacungnya: mencari literatur, konsultasi dosen.
Menyuap Mas Pandji yang sedang sibuk berkutat dengan laptop sudah menjadi pemandangan sehari - hari. Jika tidak begitu dia akan terlambat makan malam, aku kasihan sama perutnya.
Sebagai mahasiswa biasa aku pernah mengalami titik jenuh, tapi aku tidak bisa menghibur diri dengan main sosmed atau berjalan - jalan sementara kekasihku begitu fokus menggarap masa depanku. Mau tidak mau aku terbawa olehnya.
"Mas, ini kan weekend-" godaku pada suatu sore saat ia baru saja pulang kerja, kucegah dia mengambil laptop dari meja kerjanya, "santai yuk. Skripsinya ditaruh dulu aja."
"Mau jalan - jalan?"
"Ya nggak juga sih, yang penting berdua sama kamu. Quality time."
"Airin lagi 'pengen'?" tanya Mas Pandji blak - blakan jadinya aku diam. "Mas kalau lagi fokus dengan sesuatu tuh mainnya nggak enak. Tapi kalau Airin udah nggak tahan, gapapa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody
RomansaGenre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji pria yang dianugerahi semua unsur kelaki-lakian tak kurang satu apapun: rupawan, maskulin, bergairah, berstrata tinggi, cerdas, pemikat. Yan...