(8) Langkah Pertama

39.1K 4K 463
                                    

"Gy, hari ini aku mau ke workshopnya Mas Arlan sekalian mau curhat kendala pemasaran kita. Kamu mau ikut?"

Otak Gyandra berputar cepat memikirkan cara meminimalisir pertemuan Arlan dan Airin, selain itu ide bertemu dengan Si Tukang Kopi sepertinya menyenangkan juga.

"Urusan pemasaran kayanya lebih nyambung kalau aku yang ngobrol sama Arlan sih, Rin."

"Ya udah, bareng aja."

"Tapi kalau Pandji pulang terus nggak ada orang di rumah, gimana?"

"Bukannya biasa juga gitu?" tanya Airin geli.

Gyandra diam. Raut wajahnya berubah muram, "belakangan ini kakakku tuh kaya orang bingung, Rin."

"Dia kenapa, Gy?" kecemasan Airin langsung pada level ibu mencemaskan anaknya. Dalem banget.

"Aku nggak tahu. Dia nggak bakal mau cerita setiap kali ada masalah, apalagi ke aku. Dia nggak pernah percaya." Gyandra mendesah berat, "aku juga nggak pengen tahu masalah dia sih, cuma seenggaknya aku ingin bisa hibur dia—karena ringankan beban dia juga aku belum tentu mampu. Tapi Pandji kalau lihat mukaku... bawaannya emosi. Paling juga ntar malam nggak pulang, cari cewek, tidur di hotel."

"Kalau kamu aja nggak bisa, apalagi aku. Kita dan Mas Pandji beda generasi deh, Gy. Kita nggak akan ngerti permasalahan dia."

"Tapi seenggaknya ada teman ngobrol. Syukur - syukur dia mau curhat. Cuma supaya dia tetap waras aja. Aku tahu beban kerjanya di kantor pasti berat, apalagi di rumah Ibu. Kalau aja aku bisa bikin dia betah di rumah ini ya, Rin..."

Melihat temannya yang polos itu merenung, Gyandra yakin doktrinnya telah diterima dengan baik. Sekarang Airin akan memikirkan seribu satu cara menyenangkan kakaknya dan semoga saja lekas melupakan bahwa ada pria lain yang sedang menantinya. Kamu cantik sih, Rin, tapi bukan berarti semua cowok untuk kamu.

Airin sedang menyisir rambut panjangnya di depan cermin saat terdengar deru mobil Pandji melewati gerbang depan. Ia mematut diri sekali lagi di depan cermin dan tergoda mengoleskan lipgloss di bibirnya.

Sesorean ini ia sudah mandi, bahkan menambahkan sedikit parfum di tubuhnya. Bukan untuk menggoda pria itu, ia hanya ingin Pandji merasa nyaman berada bersamanya dan kemudian mau berbicara dari hati ke hati. Memang ia tidak bisa memberikan solusi tapi telinga dan hatinya siap untuk mendengar, sekalipun jika Pandji akan membicarakan soal tunangannya.

Pandji hampir terpeleset keset ketika kepulangannya disambut senyum semringah Airin di teras. Gadis itu cantik seperti biasa hanya saja kali ini lebih rapi walau dengan baju rumahan. Tercium pula wangi yang bukan wangi sabun ataupun sampo, jadi kenapa Airin pakai parfum di rumah? Pandji mengernyit curiga.

"Udah pulang, Mas?"

Pandji berhenti di sisinya, memperhatikan Airin dari dekat, "ada apa nih?"

"Nggak ada apa - apa. Kita makan yuk!" merasa malu, gadis itu salah tingkah mendahului Pandji masuk ke rumah, "tapi cuma berdua. Gyandra belum pulang."

Pandji membuntuti dari belakang, tidak ingin mendahului agar tetap dapat menikmati pemandangan tubuh Airin, "memangnya dia ke mana?"

"Gantiin aku temui Mas Arlan buat belajar bisnis," jawab Airin, "tadi aku mules - mules."

Pandji menarik lengannya menghentikan Airin menuju meja makan, "sekarang masih?"

Melihat kecemasan walau hanya setitik di wajah Pandji buat Airin merasa bersalah menggunakan alasan itu, "udah gapapa, Mas."

"Udah minum obat?"

Mampus! Airin menghindari tatapan menuntut Pandji dan menjawab, "nggak perlu minum obat, kan cuma mules."

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang