"Airin-"
Gadis itu berjalan tergesa - gesa ke arah pintu, tetes air jatuh melalui ujung rambut panjangnya yang basah. Ia memutar kenop namun pintu jati berat berukuran dua kali tubuhnya itu bergeming. Ia memutar anak kunci tapi tidak ada hasil.
"Mas, pintunya macet ya?"
"Dengerin Mas-"
Airin menyela gugup sambil tetap mengutak - atik pintu, "Ini pintunya nggak bisa dibuka, Mas. Padahal nggak dikunci."
"Pintunya nggak akan terbuka sebelum kamu dengerin saya,"
Airin menoleh ke belakang, ke arah pria besar berbahaya yang diturunkan neraka untuknya, "aku dengerin Mas Pandji, tapi aku mau pakai baju dulu, Mas. Nggak gini."
Pandji memalingkan wajah dari tubuh Airin, "ya sudah."
Menyerah berusaha, gadis itu membalik badan yang hanya dibalut kain bermotif batik mulai dari dada hingga betis mulusnya. Ia bersandar di permukaan pintu agar tetap berada sejauh mungkin dari Pandji yang masih duduk di tepi ranjang luasnya.
Ia melirik dengan kesal pria yang masih diam seribu bahasa, berusaha terlihat tidak sabar menanti bicara. "Ayo ngomong!"
Ketika Pandji masih diam, Airin memalingkan wajah ke arah sebaliknya, menarik napas pelan dan dalam, memejamkan matanya rapat - rapat, berharap pemandangan menakjubkan itu lenyap dari memorinya.
Aku sedang rindu tapi justru diuji dengan situasi ini... aduh! Aku nggak kuat.
"Kamu terima cincin dari Kaka, Rin?" nadanya tenang tapi mengintimidasi.
Pertanyaan itu menyentak kepala Airin kembali menatapnya. Kini pria itu balas menyorot wajahnya dengan tajam, "kamu jadian sama dia?"
Airin menelan sakit hatinya, "memangnya kenapa, Mas? Toh, Mas Pandji juga bebas dengan Elsa - Elsa itu."
"Ini giliran saya bertanya, Rin. Nanti waktumu."
"..." gadis itu membuang muka. Sekarang alih - alih malu berdiri separuh telanjang di hadapan pria itu, ia diliputi kemarahan yang terakumulasi sejak Pandji memutuskan hubungan mereka.
"Diapain aja sama dia?" tuntut Pandji tapi belum meninggikan suaranya.
Gadis itu balas menatap Pandji yang kini berdiri di hadapannya dengan berani, ia membalas pria itu dengan pertanyaan yang sama, "udah ngapain aja sama Elsa?"
"Kan ini giliran saya-"
"Aku nggak peduli, Mas!" akhirnya gadis itu menjerit, "kamu pikir aku biasa aja gitu setelah kamu putusin?"
"Tria bilang kamu nangisin saya tiap malam-"
"Sial!" maki Airin tambah kesal, "waktu aku tangisi hubungan kita, kamu sedang di bioskop sama Elsa. Waktu aku tangisi kepergianmu, kamu jalan - jalan di pantai sama Elsa. Waktu aku tangisi kebodohanku sendiri karena mikirin kamu, rindukan kamu yang bahkan sudah lupa kalau pernah dekati aku, kamu sedang candle light dinner sama dia, kalian pesan king crab, minum wine, apalagi?"
"Itu lobster, bukan king crab-" koreksi Pandji serius.
Tapi Airin semakin menjadi - jadi, "aku nggak peduli, Mas. Kalian mau makan gurita, ubur - ubur, spongebob juga aku nggak peduli. Jadi kenapa kamu halangi Mas Kaka deketin aku? Apa aku nggak boleh seperti kamu yang bisa bahagia sama Elsa?"
"Kamu harus diam dan dengarkan saya dulu, kalau nggak-"
"Kalau nggak, kenapa?" tantang Airin sengit.
Pandji menatapnya tajam dan bergumam, "saya bisa perkosa kamu di sini."
Bantahan yang sudah Airin persiapkan menguap di ujung bibir karena ancaman itu. Tak dipungkiri, ia agak ketakutan sekarang. Airin hanya berani membuang muka sebagai perlawanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody
Roman d'amourGenre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji pria yang dianugerahi semua unsur kelaki-lakian tak kurang satu apapun: rupawan, maskulin, bergairah, berstrata tinggi, cerdas, pemikat. Yan...