(20) Bukan Sekedar Ramalan

33.8K 3K 380
                                    

Ada yang aneh dengan sore hari ini. Langit tidak mendung, hujan juga tidak turun, lalu kenapa Airin tidak menyambutnya di teras dengan kecupan seperti biasa?

Semakin dekat, Pandji mendengar suara sesenggukan dari arah ruang tamu. Sudah pasti itu Airin, karena Gyandra lebih suka mengumpat daripada menangis. Ternyata hujan hanya turun di pipi kekasihnya.

"Kenapa?" tanya Pandji yang sudah berdiri menjulang di hadapan Airin.

Gadis itu masih sesenggukan sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perempuan memang paling bisa cari perhatian, gerutu Pandji dalam hati, kalau nangis di kamar kek biar nggak ketahuan orang gitu.

Meletakan tas kerjanya di atas sofa, Pandji duduk bertumpu pada tumit di hadapan Airin. Ia menyingkap tirai rambut dari wajah Airin lalu berbisik lembut, "Assalamualaikum, Mas pulang!"

Airin menjeda tangisnya sejenak, ia menyeka pipi dan hidungnya, berpegangan pada kedua bahu Pandji lalu mengecup bibir pria itu sebagaimana mestinya ia menyambut Pandji pulang.

Pandji memejamkan mata, meresapi kecupan Airin yang langsung meringankan hatinya. Hati siapa yang tidak sesak melihat perempuan menangis? Terlebih jika itu perempuan kesayangannya sendiri? Ia menangkup rahang kiri Airin lalu mengisap lembut bibir bawahnya yang basah sedetik.

"Kenapa nangis?"

Air mata kembali jatuh saat Airin menuduh, "Gygy bohongin Airin. Mas Pandji tahu, kan?"

"Saya tahu setelah desak dia waktu itu."

"Sejak kapan?" tanya Airin kesal.

"Malam saat saya cumbu dada kamu, ingat?"

Airin terdiam malu mengingat kejadian malam itu, saat pertamakali Pandji menyentuh dadanya. Pandji menjelaskan bahwa malam itu bisnis mereka memang terancam tapi berkat Arlan semua baik - baik saja. Gyandra tahu bahwa Airin akan menarik kembali semua modal bagiannya untuk biaya kuliah, padahal di saat yang sama Gyandra harus memutar modal itu untuk pemesanan ulang.

"Dia juga sempat pinjam uang ke saya untuk order dalam partai besar, tapi tidak saya pinjamkan. Selain nggak ada uang, saya juga harus tanggung biaya SPP kamu, kan? Mungkin dia berhasil membodohi Arlan."

"Seharusnya Mas Pandji bilang ke aku. Kalau begini aku merasa dibodohi sama kalian berdua."

"Kalau saya bilang waktu itu," Pandji melingkarkan kedua lengan di pinggang ramping Airin, "kamu pasti nggak butuh uang saya. Kamu pasti pergi, dan kita nggak bersama seperti sekarang."

"..."

Pandji kecewa memandang gadisnya, "itu yang kamu mau?"

Airin membuang muka, memang itu yang ia inginkan. Tapi mengucapkannya langsung hanya akan buat Pandji semakin kecewa dan ujung - ujungnya Airin turut sedih.

Pandji menyelipkan banyak anak rambut ke balik telinga Airin, buat gadis itu menahan getaran geli saat jari Pandji menyentuh telinganya. "Karena kamu sudah di sini sekarang, akhirnya saya ingin kamu tahu, saya suruh kamu ke sana. Bisnis kalian nggak kemana - mana," ujarnya, "Gyandra sudah janji pada saya. Nanti setelah ujian skripsi, kamu boleh langsung turun tangan."

Airin menepis tangan Pandji walau tidak dengan kasar lalu berdiri, "yang kalian berdua permainkan tuh hidup aku, Mas. Setelah kalian puas, kalian bakal buang aku padahal aku udah tergantung sama kamu. Jadi apa aku tanpa kamu, Mas? Nggak jadi apa - apa. Itu mau kamu, kan?"

"Arin, dengerin Mas-" tegur Pandji saat gadis itu beranjak masuk ke ruang tengah sambil menghentakan kaki.

"Kamu nggak perlu ngomong apa - apa, Mas. Soalnya kalau kamu udah ngomong keadaan bakal berbalik jadi aku yang salah. Aku bosan disalahin terus."

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang