(7) Selamatkan masa depanmu, Kangmas!

40.3K 4.1K 801
                                    

Malam tadi Pandji hanya ingin memastikan bahwa Airin mengunci pintu kamarnya rapat - rapat apapun yang terjadi, bahkan kalau Pandji mencoba merayunya untuk membuka pintu.

Setelah beristirahat semalam di rumah masa kecilnya dengan aroma kayu yang khas, pagi ini pikirannya sudah kembali jernih. Pemandangan rambut hitam Airin yang digerai saja tak mampu mengusiknya, ia cukup bangga dengan pengendalian dirinya.

Tapi justru ketika gadis itu menyendokkan nasi dan beberapa lauk, menyajikan tepat di depannya, dan berkata dengan lembut, 'maem dulu, Mas!', Pandji bisa merasakan gairahnya bergetar dalam celana.

Dia cuma bilang 'Maem dulu, Mas' dan gue sange? Apa - apaan coba?

Setelah sarapan ia berpamitan untuk bertemu orang - orang di pendopo. Mendengar mereka berkeluh kesah biasanya sukses membunuh gairah bercinta Pandji selama dua pekan karena beban pikiran.

Dari diskusi selama lebih dari satu jam itu ia menyimpulkan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa melepaskan tanggung jawab sebagai pemelihara mereka. Jika ia mundur tanpa ahli waris, orang - orangnya akan berpencar, kehilangan arah, dan terlantar. Ia belum setega itu.

"...kalau perlu jalan cepat, gimana, Bu?"

Suara polos Airin dari pinggir kolam sampai di telinganya. Jalan setapak panjang itu digunakan Den Ayu, Mbok Marmi, Gyandra, dan Airin untuk berlatih bagaimana cara berjalan yang benar ketika memakai jarik.

"Perempuan yang tingkah lakunya lemah lembut ndak boleh jalan cepat - cepat. Ndak anggun!" tegur Ibu dengan tegas sembari mengayukan kipasnya.

"Kalau ada kebakaran?" tanya Gyandra malas.

"Jangan ngomong sembarangan!" ia menepuk pelan pundak Gyandra dengan kipasnya. "Ayo, Arini! Semangat. Diayun pinggulnya!"

Ketika Airin merasa bokongnya sudah cukup pegal, ia mendengar Pandji berseru tak jauh di belakangnya, "gimana, Bu? Sudah bener jalannya?"

Airin terkesiap dan menoleh ke belakang, "Mas Pandji..."

Ibu tampak berpikir keras, "ndak tahu juga ya. Coba! Coba! Putar badan kamu, Nduk! Jalan ke arah Kangmas, biar dinilai."

Dinilai oleh pria yang buat jantungnya berdebar - debar tentu bukan perkara mudah. Ini ujian yang berat.

"Kepalanya jangan ndingkluk (tunduk), Arini!" tegur Den Ayu saat ia mulai melangkah. Setelah dituruti, wanita itu berkata lagi, "Kangmasnya ditatap! Jangan lupa senyum!"

Spontan Airin terperangah, "lho kenapa, Bu?"

"Anggap saja Kangmasmu ini orang penting," jawab Ibu cepat, "ayo, ndak usah bantah!"

Perintah tegas itu buat senyum Airin menjadi kaku. Ia semakin gugup ketika berhenti tak jauh dari pria yang terang - terangan dan tanpa rasa sungkan menatap matanya di depan banyak orang yang sedang menperhatikan mereka.

"Gimana, Mas?" bisik Airin ragu.

Tatapan Pandji bergerak meninggalkan matanya, turun ke bibir lembap itu dan bibirnya sendiri membuka, ia menelusuri leher jenjang Airin, lalu sepasang payudara yang membusung cantik, dan... cukup!

"Coba sekali lagi!" akhirnya Pandji berhasil mengatakan sesuatu yang aman.

Ketika mencoba sekali lagi, senyum manis di bibir Pandji buat Airin percaya diri. Ia tak perlu lagi menunduk untuk memperhatikan langkahnya, ia tak lagi tersenyum kaku melainkan senyum lepas yang ia tujukan hanya untuk Pandji, dan dari matanya terpancar kekaguman sejati. Hingga kemudian ia terantuk, entah kakinya sendiri atau siapa. Ia meluncur seperti peluru ke arah Pandji, menerjang pria itu hingga jatuh menelungkup di atas tubuhnya.

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang