(25) Pergilah Kasih 1 (21-)

40.3K 3K 277
                                    

Gyandra memandangi teman seperjalanannya yang seperti mayat hidup duduk di seberang bangku kereta. Pandji meminta Gyandra menjemput Airin pulang serta memastikan gadis itu baik - baik saja tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Airin pun masih belum membuka suara, gadis itu lebih banyak diam dan melamun. Kemudian menangis diam - diam.

Sesuatu pasti telah terjadi, Pandji selingkuh nih pasti, tebak Gyandra mantap.

Diseberangnya, tubuh Airin berguncang pelan mengikuti kereta yang mereka tumpangi. Pemandangan berlarian di luar tak ia hiraukan, ia sedang belajar menerima kenyataan bahwa Pandji bukan kekasihnya lagi. Setiap kali memikirkan itu air matanya meleleh tanpa bisa dibendung.

"Ini calon istri Pandji,"

Masih teringat jelas suara tegas Pandji di benak Airin saat pria itu membawanya menghadap pada Den Ayu. Airin ragu, Airin malu berhadapan dengan Den Ayu, ia seperti perempuan tidak tahu diri yang datang merebut tunangan orang lain. Akan tetapi ia sepenuhnya percaya dan berpegangan pada kata - kata Pandji bahwa pria itu akan memperjuangkan hubungan mereka.

"Aku ndak melarang kalian menikah-"

"Tapi Pandji tidak berniat poligami, Bu. Airin saja sudah cukup."

Den Ayu tersentak menatap putranya, diperhatikannya anak itu seperti salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Keturunan Adiwilaga cukup hanya dengan satu wanita? Omong kosong, cemooh Den Ayu dalam hati.

Den Ayu memalingkan wajah dan menuduh dengan ekspresi datar, "kamu ndak sedang membual kan, Kangmas."

Pandji berdesis saat menarik napas dalam dan meredam emosi. "Pandji akan temui Om Noto dan minta perjodohan ini dibatalkan. Pandji nggak tahu gimana Kartika akan besarin bayinya, saya peduli, Bu, tapi saya dan Airin bakal punya bayi sendiri."

Kedua mata Den Ayu melebar, ia berpaling memandang perut Airin, "kamu sudah isi, Arini?"

Airin tersentak memandang kekasihnya dengan panik, aku harus jawab apa, Mas?

"Kita akan segera tahu, Bu," jawab Pandji diplomatis.

Wajah Den Ayu berubah berseri - seri, ia berpaling pada Mbok Marmi yang berdiri di sisinya, "Mi, suruh orang siapin kamar. Apa pakai kamar Kangmas saja-"

"Bu," sela Airin bingung, "buat apa?"

"Kamu hamil, Nduk. Bayi dalam perut kamu penting buat kami juga buat penduduk satu kampung. Kamu ndak boleh kemana - mana."

Airin memeluk perut yang ia yakini masih kosong, terakhir kali mereka berhubungan tanpa pengaman ia sudah memastikan dirinya tidak sedang subur. Dan setelah itu mereka selalu membawa kondom di setiap penyatuan. Eh, waktu di pondok Mas Pandji pakai kondom, kan? Tiba - tiba saja ia ragu.

"Airin akan ikut ke mana pun Pandji pergi, Bu," tolak Pandji tegas.

"Kandungannya harus dijaga, Kangmas! Kamu pisah sebentar aja kok ndak sanggup."

Melihat Pandji masih berkeras, Mbok Marmi mencoba menjelaskan, "kalau kita menjaga bayi dalam perut Mba Airin dengan baik, Raden Mas Noto ndak akan mendapat apa yang dia incar. Semua sudah tertulis, Kangmas."

"Mbok, selama ini saya diam karena saya menghormati Kanjeng Ibu. Saya yakin ada alasan yang lebih masuk akal selain hasil terawangan orang kampung. Tapi kalau masa depan saya ditentukan oleh hasil terawangan, saya berontak."

Mbok Marmi terdiam menunduk.

Begitu pula dengan Den Ayu yang tampak tidak mau mengalah, "kamu tetap harus menikah dengan Diajeng Kartika."

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang