(10) Pengikatan Jaminan Kredit (21-)

58.9K 3.7K 325
                                    

Pagi menjadi hari yang dinanti oleh Gyandra sejak ia mengenal Arlan. Pria itu identik dengan kopi dan sikapnya yang tidak bisa ditebak. Akan sangat mudah mengetahui apa yang diinginkan Pandji yakni wanita cantik yang mau terlentang di ranjang demi menyalurkan hasrat bersama, ia tidak muluk - muluk mempertimbangkan soal hati dan kesetiaan.

Tapi Arlan? Di satu sisi dia sangat menjaga jarak dengan lawan jenis. Berusaha dengan sopan agar tidak menatap mata lawan bicaranya atau bahkan berhati - hati agar tidak menyentuh mereka. Seolah citra etnis yang melekat di darahnya memang seperti itu.

"Tapi kemarin dia pegang tangan gue deh," Gyandra memalingkan wajah dari Arlan yang sibuk menginput pesanan kepada Yuta yang duduk di sampingnya, "waktu narik tuas coffe maker."

Yuta mendorong pelan kening Gyandra, "lo ge-er banget sih. Menurut kacamata gue, kadar keimanan Si Tukang Kopi masih di level hijau. Aman."

Mencebik tak acuh, Gyandra menyentuh tangan yang pernah digenggam Arlan waktu mengajarinya cara memakai mesin. Bagian itu seperti diserang ulat bulu: tebal, agak gatal, tapi geli.

"Hari ini ngapain gue ke sini?"

"Senang - senanglah," jawab Yuta enteng, "abang lo dan Airin udah 'basah', sementara nggak perlu pikirin mereka."

Gyandra tersentak, "ML?"

Yuta menggaruk wajahnya yang gatal sambil meringis, "belum sih. Gue juga heran tuh Airin kenapa nggak di'tusuk-tusuk' juga sama abang lo. Udah mau sebulan jalan."

"Oh, mereka jadian?"

Yuta mengulum senyum. Pandji dan Airin terlalu bebas memainkan peran mereka dalam 'rumah - rumahan' selama Gyandra tidak di rumah. Pemandangan saling mencumbu bisa ditemukan di seantero rumah itu. Hanya saja, entah kenapa Pandji masih sanggup menahan diri, padahal setiap kali membuka laci di kamarnya, deretan kondom berbagai varian seolah - olah berteriak ingin dipakai segera.

"Abang lo jadi penyabar atau Airin yang kurang peka ya?"

Iya juga, pikir Gyandra, Mas Pandji nggak butuh waktu lama deh. Kalau iya dijadiin, kalau nggak langsung ditinggalin kan? Jangan - jangan dia suka Airin beneran.

Sementara mereka berpikir, tiba - tiba saja Arlan memanggil Gyandra, "kamu bisa bantu saya?"

Ajakan itu membuyarkan konsentrasi Gyandra, terserah jika kakaknya dan Airin bercinta sampai beranak, toh mereka berdua cocok.

***

Pandji menilai senyum di wajah Airin sore ini agak dipaksakan. Andai saja ia bukan orang yang terbiasa mengamati perilaku bawahannya di kantor, mungkin ia tidak akan menyadari perbedaan itu.

Ia membiarkan Airin menyambutnya di teras, gadis itu berpegangan pada pundaknya lalu berjinjit saat Pandji merunduk dan mereka berciuman tanpa aba - aba. Spontanitas yang berubah menjadi kebiasaan, yang jika tidak dilakukan rasanya tidak lengkap.

"Mas, gimana di kantor?"

Pandji tersenyum, entah hanya basa basi atau Airin benar - benar peduli dengan karirnya tetap saja ia merasa senang diperhatikan seperti ini. Ia menjawab apa adanya dan memang Airin tidak terlalu fokus sore ini, Pandji yakin gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Rindu rumah kah? Ia berdoa semoga bukan itu, ada kecemasan setiap kali memikirkan Airin pulang ke rumah, ia takut gadis itu tidak akan kembali. Pandji mengguncang kepalanya samar, tidak biasanya ia seperti ini. Baginya, wanita adalah burung yang bebas, mereka bisa pergi kapan saja dan Pandji tidak merasa kehilangan apa - apa.

Disodorkan segelas air dingin setiap kali ia tiba di rumah adalah kebiasaan baru sejak Airin tinggal di sini, di rumahnya sendiri pun ia tidak dilayani seperti itu. Pandji tak ingin terbuai karena dimanjakan seperti ini, sebenarnya. Bisa - bisa Airin lebih dari sekedar teman main 'rumah - rumahan'.

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang