(14) Kasta Kamar Mandi

44.3K 3.5K 431
                                    

Ditinggal Pandji di hari terakhirnya magang memang menyebalkan. Pria itu tiba - tiba saja mendapatkan tugas selama lima hari di kantor pusat, Jakarta. Ia semakin rindu setelah terbiasa dibayangi pria itu setiap harinya. Pandji tidak bermain texting, dia selalu melancarkan aksinya secara langsung dan terkesan begitu konvensional. Airin selalu tak sabar menunggu hari esok tiba, penasaran dan menanti rayuan apalagi yang akan Pandji lancarkan padanya.

Airin membuka kembali history chattingnya dengan Pandji, beberapa bulan yang lalu sebelum mereka putus.

'Mas, kamu ngapain di atas?' - Airin
'Tengkurap. Bayangin kamu di bawah saya.' -Pandji
'Nanti saya mau turun. Mau cium kamu. Jangan tidur dulu ya!' –Pandji

Tubuh Airin bergidik nikmat membayangkan kelanjutan texting mereka. Pandji turun setelah Airin harap - harap cemas menunggunya selama hampir setengah jam.

Ia ingat, Pandji baru saja menyebutkan namanya dengan lirih dari balik pintu dan ia langsung membukanya. Ketahuan jika ia sudah menunggu dari tadi.

"Nunggu saya?"

Saat itu Airin mengangguk malu. Ketika Pandji menarik pinggangnya merapat, Airin mengangkat tangan memeluk lehernya. Mereka berakhir di atas kasur Airin dengan posisi Pandji terlentang di bawahnya berpakaian lengkap. Airin menindih sebagian tubuh liat itu, mencium bibir Pandji dengan leluasa.

Airin tidak terkejut lagi saat tangan besar itu menyusup ke balik branya. Malam itu Pandji meninggalkan beberapa jejak di dadanya.

Kini ia memeluk dirinya sendiri, seketika merasa rindu pada pria yang ia beri ijin untuk menjamah tubuhnya. Kenapa bisa? Ia tidak tahu. Yang jelas rindu semakin terasa berat ditanggungnya.

Sudah tidak ada alasan untuk mereka berjumpa lagi. Setelah magang usai ia akan kembali ke kampus, sibuk menyelesaikan skripsi dan menata masa depan. Pandji juga melanjutkan hidup di kantor dan menata masa depan tanpanya.

Semua tentang mereka benar - benar berbeda: usia, lingkaran sosial, kecuali hasrat, Airin sadar nafsunya memuncak drastis sejak bertemu pria itu. Ia malu, tapi tak memungkiri juga mau... gimana nih?

Satu - satunya alasan dapat berkomunikasi dengan Pandji adalah dengan membayar utangnya. Dulu Mas Pandji nggak minta uang sih, tapi sekarang pasti butuh.

"Jadi kerja di outlet celana dalem?"

Pertanyaan Gyandra mengingatkannya pada panggilan kerja di sebuah butik pakaian dalam wanita ternama. Ia memutuskan untuk bekerja karena jumlah pinjamannya pada Isyana semakin bertambah setiap harinya sedangkan tidak ada perkembangan positif dari usaha mereka sendiri.

"Jadi, tapi mulainya per tanggal satu bulan depan."

Gyandra meremas lengannya, "ikut aku mudik yuk!"

Wajah Airin berubah cerah tanpa bisa ditahan, "ada Mas Pandji?"

"Ya nggaklah!" jawab Gyandra ketus, lalu menggerutu, "Pandji mulu sih."


Berada dekat dengan hal - hal tentang Pandji cukup mengobati rasa rindunya. Memang tidak ada Pandji di sana, pria itu sibuk di Jakarta, tapi semua yang ada di rumah itu identik dengan Mas Pandji kesayangan Den Ayu—bukan Mas Pandji kesayangan Airin. Tapi tetap saja sama - sama 'Mas Pandji', Airin cukup puas.

Airin duduk bersimpuh di sisi Den Ayu selepas makan malam, di pangkuan wanita paruh baya itu terbuka sebuah album foto lama yang terawat walau agak menguning. Sebagian besar diisi dengan potret bocah yang sudah gagah sejak berumur delapan tahun.

"Nah, ini waktu ada acara Supitan," jemari gemuk itu menunjuk foto Pandji dalam balutan pakaian adat khas, "Kangmasmu hebat lho, ndak nangis sama sekali."

Romantic RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang