Part 26

4.1K 174 3
                                    

Halo, sang penulis gagal ini kembalii.

Mentari menatap temannya dengan prihatin. Bagaimana tidak? Wajah perempuan itu semakin kurus dan tirus. Membuat semua sahabatnya ikut khawatir. "Lo gamau makan, Ree? Dikit aja," tanya Esme sambil menyodorkan sendok isi bubur itu. Saat ini mereka sedang berada di apartemen Ree.

"Gamau. Gue mau tiduran aja. Ngantuk." Katanya dingin.

"Lo mau sampe kapan begini terus hah?" Tanya Mentari yang mulai kesal.

"As long as I want."

"Yaudah. Kami cabut dulu ya. Makan buburnya. Biar bisa cepet-cepet nongkrong bareng lagi. Oke?" Kata Len tersenyum hangat. Ree hanya mengangguk. Setelah mereka keluar, pecahlah tangisan pilu Ree.

*****

Len dan Mentari sedang berada di depan gedung kantor Dave. Mereka berdua berniat untuk memberitahu keadaan Ree. "Gimana kalo Dave gamau ketemu Ree lagi?"

"Stay positive lah. Yok." Kata Len sambil menarik tangan Mentari pelan.

Tok! Tok!

Mentari mengetuk pintu ruangan Dave tidak sabaran, "Kok ga dibuka-buka sih?"gerutunya. Tiba-tiba pundaknya disentuh oleh seseorang.

"Mau bertemu dengan bapak Dave, Pak Len?" Tanyanya dengan nada menggoda. Len hanya mengangguk singkat. Wanita cantik itu langsung membuka pintu ruangan Dave dengan kartu kantor, "Silakan." Mentari dan Len langsung masuk. Seketika, mereka langsung bergidik. Suasana hening dan suram membuat mereka mau tak mau berbisik-bisik dalam berbicara, "Kamu yakin mau ngasih tau Dave tentang Ree? Nanti kalo dia tambah stress gimana?"tanya Mentari. Len mengangguk setuju, "Kayaknya bener. Kita cabut aja yok sekarang." Merekapun keluar ruangan Dave.

*****

Dave tahu Mentari dan Len kesini. Tapi buat apa diladeni? Paling hanya mau menyalahkannya. Pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Stephanie dengan balutan kemeja dan rok pendeknya. Berbeda dengan Dave,ia sedang berbunga-bunga saat ini.

"Halo Dave! Mau jalan-jalan ga?"tanyanya riang.

Sudah seminggu ini mereka berpacaran. Dan selama seminggu pula Dave beranggapan kalau dia masih mencintai Stephanie.

"Jalan kemana?"

"Kemana gitu? Mal, dufan, waterbom, anywhere."

"Ga berminat."

"Ayolah, Dave."

"Steph, listen. Aku lagi banyak pekerjaan. Nanti aja ya."

Stephanie mengerucutkan bibirnya dan mengangguk. Setelah memastikan Stephanie keluar,Dave langsung menjambak rambutnya sekencang-kencangnya.

******

Ree memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Mungkin inilah saatnya, batinnya. Ia memang tidak mau keluar dari kantor Dave. Itu sama saja dengan dia sangat putus asa di hadapan Dave. Maka, iapun segera memutar knop pintu dan berjalan keluar.

Ree masuk ke kantor dengan perasaan campur aduk. Antara malu, takut, marah. Semua jadi satu. Ia mengabaikan senyuman dan sapaan semua orang dan menutup wajahnya saat sudah sampai di wajahnya.

"Lo kenapa?"tanya Renata, salah satu temannya. Ree hanya menggeleng sambil tersenyum. Renata menghembuskan napasnya dan berbalik menuju meja kerjanya. Tiba-tiba pintu kantor Dave terbuka. Refleks, Ree langsung mencengkram pinggiran mejanya. Oh tidak, batinnya. Dave keluar bersama Stephanie. Lelaki itu sempat melihat Ree. Bukannya menyapa, Dave malah me-romantis-kan suasana. Ia merangkul pinggang Stephanie yang membuat wanita seksi itu tersenyum bahagia. Hati Ree terasa tertohok. Ia tidak menyangka kalau Stephanie menusuknya dari belakang dan depan. Ia menggigit bibirnya. Berusaha menahan tangis yang ingin keluar.

*****

Dave melihatnya. Ia berusaha untuk mengabaikannya. Ia berusaha menahan dirinya agar tidak memeluk gadis itu. Ia tidak mau. Terlalu gengsi.

"Kamu kenapa, Dave?"tanya Stephanie khawatir. Sepertinya wanita itu tidak sadar kalau tadi Ree ada di kantornya. Mungkin ia terlalu sibuk menutupi rasa bahagianya. Dave hanya menggelengkan kepalanya dan berusaha menelan makanan. Saat ini mereka sedang berada di cafetaria kantor. "Dave. Tau ga sih....." cerocosan Stephanie diabaikan oleh Dave. Walaupun sesekali ia menganggukkan kepalanya agar terlihat sepertinya ia sedang mendengarkan. Pikirannya melayang jauh kepada keadaan Ree saat ini.

Hari sudah malam. Stephanie dan kebanyakan pegawainya sudah pulang. Davepun sedang merapikan barang-barangnya. Ia keluar dari ruangannya dan berjalan menuju lobby kantor. Matanya menangkap sosok gadis yang ia rindukan akhir-akhir ini. Gadis itu tampak sedang memandangi langit di luar sana yang sedang menjatuhkan hujan deras. Dave menghela napas. Tekadnya sudah bulat. Ia menghampiri gadis itu.

******

Ree mamaki dirinya sendiri karena tidak membawa mobil ke kantor. Ia pikir dirinya tidak cukup kuat untuk menyetir. Huh, gimana ini?!batinnya.

"Ehem. Anda tidak pulang?"tanya seseorang. Ia menoleh dan mendapati Dave sedang tersenyum sopan. Hati Ree tertohok. Ia tidak menyangka kalau Dave bisa bersikap seolah dia bukan siapa-siapanya. Hanya seperti bos dengan karyawannya. Ree mau tidak mau --mengabaikan rasa sakit di hatinya --mengikuti permaiman Dave. Ia tersenyum sopan, "Belum, Pak. Saya sedang menunggu taksi di sekitar sini,"

"Saya bisa mengantarmu ke rumahmu."

"Ah, tidak usah repot-repot,Pak."

Dave memutar bola matanya dan menarik lengan Ree, "Ayo."

*****

Dave membuka pintu mobil untuk Ree dan masuk ke tempatnya sendiri. Mereka duduk dalam diam. Tanpa terasa, mobil Dave sudah terparkir rapi di lobby apartemen Ree. Mereka sempat diam-diaman. Suara Ree memecah keheningan.

"Mendingan kita jangan bermusuhan ini. Berteman aja. Bawa nyantai." Iapun keluar dari mobil Dave. Dave tersenyum kecut. Ia tidak mau berteman dengan Ree. Ia mau lebih.

******

"Jadi si brengsek Dave akhirnya milih si slut itu?" Tanya Jordan geram. Tadi pagi, ia ditelepon Ree. Akhirnya, Ree menceritakan semuanya.

"Mungkin ya. Gue gatau."

"Oke gue akui. Steph emang hot as fuck. Tapi gabisa gitu dong. Egois itu namanya."

"Udahlah."

"Kadang cewe gabisa dingertiin. Kalian lebih suka jatuh cinta ke cowok yang menyakiti kalian."

"Ah, sok bijak lo. Lo juga gitu kan."

Jordan hanya nyengir konyol. Mereka tertawa bersama.

"Bye!" Ujar Jordan sambil melambaikan tangannya. Ree membalasnya dengan lambaian juga. Ia menghela napas ketika yakin kalau Jordan sudah tidak kelihatan di spionnya. Perlahan ia menangis. Dan lama kelamaan tangis itu semakin kencang dan menyayat hati. Untung kaca mobilnya memakai kaca film. Ia mengusap wajahnya yang basah. Tidak sadar kalau sebuah sinar menyerbunya.

#tbc.

Hola! Yey, part sebelumnya banyak yang ngevote! Thanks guys! Sorry, lama banget updatenya. Ga sesuai syarat Huahahaha *ketawa setan*

-sabsab123

Unpredicted Love {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang