Part 8

467 29 0
                                    

Semenjak hari itu Hanum terus memikirkan ucapan keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Dan Sagam memang memberikan bukti bahwa apa yang dilakukannya saat ini memang serius tidak ada niat sedikit pun untuk bermain-main. Dan Hanum mengakui usaha maupun bukti yang ditunjukkan Sagam padanya. Sagam benar-benar laki-laki yang baik, dai tidak pernah memaksa Hanum untuk segera menjawab lamaranya justru Sagam memberikan banyak waktu untuk menelaah perasaannya dan memikirkan jawabannya dengan baik.

Saat ini Hanum berada di rumah. Rasanya malas ingin pergi ataupun melakukan aktivitas yang lain. Yang dia lakukan seharian hanya berbaring di sofa ruang keluarga dengan tv menyala tanpa menontonnya. Meskipun selalu menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah tetap saja setelah beribadah Hanum kembali lagi berbaring sofa.

“Kamu kenapa Dek? Nggak sakit kan? Tumben ada di rumah.” Bunda mendatangi anak bungsunya yang terlihat tidak semangat sejak tadi. Memindahkan kepala Hanum agar tidur dipangkuannya.

“Masih mau fokus sama pembukaan restoran Bun lagipula ada Vita juga. Memang masih tahap dekorasi sih tapi kita bertiga komit untuk selalu mengawasi.”

“Terus kenapa keliatan nggak semangat gitu? Ada masalah?”
Hanum terlihat ragu untuk bercerita pada Bundanya. Mungkin malu lebih tepatnya.

“Menurut Bunda… Mas Sagam orangnya seperti apa?” Ada jeda cukup lama sebelum menanyakan pada Bundanya. Bunda yang mendengar pertanyaan Hanum tersenyum, ternyata ini yang membuat anaknya linglung.

“Memangnya kenapa Dek?”

“Hanum pingin tahu penilaian Bunda tentang Mas Sagam Seperti apa. Hanum nggak mau salah pilih Bun dan tentunya harus mendapat restu dari Ayah sama Bunda.”

Dengan mengelus kepala Hanum yang tertutup hijab, Bunda mengingat kembali pertama kali Sagam datang ke rumah mereka. Meskipun baru satu hari mengenal Sagam rasanya ibu manapun akan menginginkan Sagam menjadi menantu mereka.

“Dia anak yang sopan. Bunda dibuat kagum dengan sikapnya saat Bunda menyuruh Adek mengajaknya masuk. Di zaman sekarang terutama di Jakarta sulit menemukan anak muda dengan sopan santun dan tata karma. Peregaulan bebas dan semakin majunya teknologi membuat budaya luar semakin dianut dan budaya sendiri semakin ditinggal. Tapi melihat Sagam kemarin, Bunda yakin bahwa masih ada anak muda yang menjungjung tinggi budaya kita. Dia tahu jika di rumah saat itu hanya ada perempuam sehingga dia lebih memilih di teras. Artinya dia menghormati perempuan seperti dia mengkormati ibunya dan seorang muslim yang taat. Salam dan mencium tangan memang merupakan budaya kita tapi Sagam, dia begitu khusyuk mencium tangan Bunda dan Ayah. Seolah-olah kami orangtua kandungnya. Begitu pula kepada Kakak, Mbak dan kedua sahabatmu. Kamu melihat sendiri kan bagaimana interaksi mereka. Dia begitu luwes, mampu menempatkan dirinya dan tidak pernah menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang berada. Jujur Bunda menyukainya dan jika Bunda masih muda mungkin Bunda sudah mengiyakan lamarannya. Tidak perlu pikir panjang.” Ujar Bu Rita memberikan pendapatnya mengenai Sagam.

“Mbak juga.” Ucap Sekar saat masuk ruang keluarga dan langsung duduk di sofa double dengan Erlangga yang tertidur di gendongannya dan Hangga mengikutinya dari belakang.

“Jika di Jawa masih banyak kita temui anak dengan sopan santun maupun tata karma tinggi karena sedari kecil itu yang mereka pelajari juga merupakan adat orang jawa. Jujur Mbak seperti melihat Kakakmu setelah Ayah Mbak menolaknya berkali-kali karena unggah-ungguhnya orang Jakarta yang menurut Ayah kurang baik. Kamu tahu, Ayah Mbak itu termasuk orang kolot sangat menjungjung tinggi adat istidat orang Jawa. Kakakmu belajar banyak dari sepupu Mbak sampai harus rela menjadi kacungnya untuk mempelajari adat di keluarga kami seperti apa, terutama mengenai sopan santun dan tata krama. Jadi menurut Ayah Mbak semua orang Jakarta itu nggak punya tata karma padahal tidak semua orang Jakarta seperti itu.” Lanjut Sekar.

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang