Pernah ngalamin suatu keadaan? Di mana kita merasakan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain, merasakan penderitaan orang lain, seolah-olah kita juga mengalami luka tersebut, dan membuat kita ingin bertindak untuk membantunya. Walaupun, kita sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang tersebut.
Ya, mungkin itulah yang aku rasakan. Merasa empati terhadap perempuan paruh baya-dengan kisaran umur 45 tahun-yang menjadi salah satu pasien di rumah sakit KASIH HARAPAN-milik tanteku, atau orang biasa menyebutnya sebagai panti rehabilitasi kejiwaan.
Namanya, Sri Karina.
Setiap berkunjung ke rumah kasih harapan, aku sering melihat tante Karin dalam keadaan yang tidak baik. Mengamuk, menangis histeris, dan bahkan aku pernah melihatnya hendak melakukan bunuh diri.
Seperti saat ini, di sebuah ambang pintu, aku tengah berdiri melihat tante Karin yang sedang berada di dalam ruangan minimalis yang didominasi dengan warna putih, tengah duduk di kursi roda, dengan kondisi yang begitu mengkhawatirkan.
Awalnya tante Karin hanya duduk, diam dengan kepala yang memiring, dan pandangan lurus ke depan. Namun tidak pokus, pikiran dan daya rangsang-nya ntah pergi ke mana, seolah jiwanya sudah direnggut dari sana, dan tangannya tengah menggendong sebuah boneka. Selanjutnya, tante Karin menyanyikan sebuah lagu nina bobo dengan tangan mengelus-ngelus boneka, dan tatapannya yang masih terlihat kosong. Yang kemudian, suara tawanya terdengar menemani ruangan sunyi. Namun, tiba-tiba....
Tante Karin melempar kasar boneka yang ada di tangannya, dan menjerit begitu histeris buatku tersentak kaget.
Astagfirullah.
Apa yang harus aku lakukan?
Sekarang aku sendirian. Biasanya selalu ada perawat di sekitar sini, atau aku selalu memanggil tanteku, tapi tanteku sedang tidak ada, dan di mana perawat?
Sebenarnya, aku merasa takut melihat tante Karin yang menangis begitu histeris seperti itu. Namun di sisi lain, aku juga merasa kasihan melihatnya, aku takut tante Karin menyakiti dirinya seperti kejadian beberapa minggu lalu.
Aku ingin mendekat, dan menenangkannya. Tapi aku tidak tahu gimana cara menenangkannya, aku bukan seorang psikolog atau psikiater. Aku takut apa yang aku lakukan nanti malah membuat keadaan semakin memburuk.
"ANAKKU," teriak tante Karin lagi-lagi buatku tersentak kaget.
"DI MANA ANAKKU? DI MANA DIA?"
"Kenapa kalian semua jahat? Kenapa kalian membuang anakku?"
"Salah aku apa? KATAKAN! SALAH AKU APA PADA KALIAN?" teriaknya parau seraya menjambak-jambak rambutnya sendiri, buatku meneguk ludah kasar.
Astagfirullah....
Bagaimana ini?
Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini.
Aku harus melakukan sesuatu.
Aku harus menghampiri tante Karin.
Aku harus menenangkannya.
Perlahan, ku mulai melangkahkan kakiku.
Namun....
"BA*GSAT," teriak tante Karin buatku refleks menghentikan langkahku.
"DASAR MANUSIA SAMPAH. KALIAN SEMUA JAHAT. AKU BENCI KALIAN SEMUA," teriak tante Karin semakin histeris seraya memukul-mukul dirinya, yang kemudian membuatnya jatuh terduduk ke atas lantai, dan membuatku tanpa berpikir panjang berlari kecil menghampiri tante Karin.
"Ta-tante, tante tenang ya," ucapku seraya mengelus lembut punggung tante Karin, mencoba untuk menenangkannya.
Tante Karin menangis pilu dalam pelukannku, mulutnya tidak berhenti terus saja berucap, "Anakku, kembalikan anakku."
Aku tertegun.
Sebenarnya apa yang telah terjadi kepada tante Karin?
Kenapa tiba-tiba aku ingin tahu siapa keluarga tante Karin?
Kenapa selama ini tante Karin selalu memanggil-manggil anaknya, dan kenapa aku tidak pernah melihat keluarganya berkunjung ke sini untuk menemui tante Karin di sini, dan beberapa pertanyaan lain pun bermunculan dalam diriku
Ya, memang selama ini hanya tante Karinlah satu-satunya pasien yang tidak pernah aku lihat anggota keluarganya datang dan menjenguk tante Karin di sini, seperti pasien yang lainnya, hanya untuk sekedar menanyakan kabar kesehatannya.
~Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diarry Atika
Teen Fiction"Karena gue takut jatuh cinta sama lo. Gue takut salah dalam mengartikan sikap baik lo terhadap gue. Walaupun rasa itu belum tumbuh. Namun, yang namanya cinta tak bisa ditebak kapan saat ia datang, dan hilang. Karena itulah gue memilih menghindar da...