"Tadaima."
"Okaeri, Naruto-kun."
Hinata segera menghampiri suaminya yang baru pulang, membantunya melepas jas kerja dan tasnya untuk diletakkan di sofa ruang tamu.
"Bagaimana harimu, Anata?"
"Maaf, Hime." Suaranya terdengar lelah, sangat.
Naruto menghempaskan tubuhnya di sofa, dan mulai melepas dasinya.
"Kau mau makan atau mandi dulu."
Pria pirang itu menggeleng. "Kemarilah."
Hinata menuruti permintaan suaminya itu. Ia duduk di samping kanan Naruto.
Ia merebahkan kepalanya di pangkuan sang istri. "Sebentar saja."
"Hu'um." Hinata mengerti. Ia mengusap pelan wajah letih prianya. Tangannya beralih mengusap rambut sewarna matahari itu.
Tangan kanan Naruto terangkat, membelai lembut mahkota indigo milik istrinya. "Maaf, ya, Hime."
"Kenapa kau meminta maaf terus? Kau tak melakukan kesalahan apa pun."
Hinata tahu apa yang dimaksud suaminya itu. Sudah 5 bulan Naruto bekerja tanpa di gaji. Krisis ekonomi yang melanda negara mereka benar-benar buruk.
Dari hari ke hari semakin menurun tanpa adanya tanda-tanda bahwa itu akan membaik. Bahkan kini sudah memasuki hyper inflation.
Entah apa penyebab pastinya, mereka tak tahu. Mereka hanya warga sipil biasa. Dan pekerja kantoran seperti suaminya, benar-benar dirugikan.
Memang tak hanya karyawan kantor yang harus bekerja tanpa digaji, hampir sebagian besar seperti itu. Sedangkan Hinata, ia hanyalah seorang istri yang mengurus rumah.
Masalahnya, tak hanya soal gaji. Terkadang listrik akan dipadamkan secara bergiliran, dan akhir-akhir ini menjadi semakin sering.
Air bersih mulai langka. Bahan makanan juga semakin sulit didapat. Penjarahan mulai terjadi di luaran sana, terutama di toko-toko bahan makanan dan kebutuhan pokok.
Naruto semakin khawatir ketika harus bekerja sehingga meninggalkan istrinya di rumah sendirian. Ditambah lagi, tabungan mereka yang mulai menipis.
Lengkap sudah penderitaan negara itu. Pemerintah bahkan telah menjual cadangan emas kepada negara tetangga dengan harga murah.
Namun hingga kini, semuanya masih sama.
"Hime." Panggil Naruto dengan tetap memainkan rambut terawat istrinya. Sesekali menyesap aroma lavender yang menguar dari sana.
"Ada apa, Naruto-kun?" Tanya Hinata lembut disertai seulas senyum manis.
"Kau masak apa hari ini?"
"Naruto-kun maunya apa? Sebenarnya aku belum memasak."
"Ramen, ada?"
"Maaf, tapi kita kehabisan ramen." Hinata menundukkan wajahnya sedih. Dengan uang yang tersisa, ia tak mungkin membeli ramen. Harga-harga melambung terlalu tinggi. Bahkan harga seekor ayam setara dengan satu unit sepeda motor.
"Sudahlah. Tak apa, Hime. Apa pun yang kau masak, aku akan suka kok. Sudah, jangan sedih lagi, ya." Naruto bangkit dan memeluk istri tercintanya.
"Aku mandi dulu." Sebuah kecupan lembut ia daratkan di kening Hinata.
...
Keesokan harinya masih sama. Tak ada yang berubah.
"Itekimasu."
"Iterasai, Naruto-kun."
Naruto mengecup dahi Hinata sebelum berangkat. "Aku mencintaimu. Jaga dirimu baik-baik, ya."
"Aku juga mencintaimu. Kau juga jaga diri."
Selepas kepergian Naruto, Hinata bergegas mengambil jaket dan tas jinjingnya. Kemarin, ia mendapat kabar dari Sakura bahwa ada tempat untuk mendapatkan uang dengan mudah dan hasil yang lumayan.
Ia berjalan agak tergesa, dan kini ia berdiri di depan sebuah salon kecantikan. Ia ragu, haruskah ia masuk, atau kembali.
Jika ia masuk, apa nanti Naruto akan memarahinya. Jika tidak, tapi ia butuh uang.
Dengan segenap keberaniannya, Hinata memutuskan untuk masuk dan mendapatkan uang.
...
"Tadaimaaa...." tak ada jawaban, Naruto mengernyitkan alis bingung. Apakan istrinya itu sedang keluar? Tapi pintunya tidak dikunci.
Sebuah aroma yang familiar menyeruak, menerobos indra penciumannya. Naruto segera bergegas ke dapur.
Disana, istrinya tengah memasak. Tapi tunggu,
"Hime, kaukah itu?"
"Oh, Naruto-kun, kau sudah pulang? Maaf tidak menyambut kedatanganmu. Aku tak mendengar suaramu."
"Hinata. Kenapa?" Jantung Naruto seakan berhenti sepersekian mili sekon melihat pemandangan di depannya.
"Oh, ini." Hinata menyentuh pelan rambutnya yang kini tinggal sebahu.
"Aku memotongnya. Sepertinya gaya rambut pendek sedang trend saat ini." Hinata mencoba menampilkan senyum terbaiknya. Meskipun dapat ia lihat raut kekecewaan di wajah suami pirangnya.
"Tapi kenapa, Hime?" Naruto tetap berdiri dengan ekspresi tak percaya terpampang di wajah berguratnya.
"Duduklah dulu, Naruto-kun. Sebentar lagi ramennya matang."
Naruto hanya menurut. Ia memandangi punggung mungil istrinya yang tengah memasak.
"Ini dia." Hinata meletakkan semangkuk ramen porsi besar dengan asap yang masih mengepul di hadapan suaminya.
Naruto menatap kosong pada ramen di depannya.
"Ayo makanlah, Naruto-kun. Kau tidak suka, ya?"
"Eh. Tidak kok. Aku suka sekali, sayang. Arigatou." Naruto mulai mengambil sendoknya dan menyesap kuah ramen tersebut.
"Kau tidak makan?"
Hinata menggeleng. "Sudah tadi. Lanjutkan saja, Naruto-kun."
Naruto meraih sumpitnya dan mulai makan dengan lahapnya. Hinata duduk menopang dagu dan memerhatikan suaminya yang sedang makan sambil sesekali tersenyum.
Ia bahagia melihat orang yang dicintainya tampak menikmati ramen buatannya. Meskipun ia harus mengorbankan sesuatu miliknya.
"Arigatou, Hime. Aku mencintaimu."
"Aishiteru mo, Anata."

KAMU SEDANG MEMBACA
NaruHina -Always And Forever-
RandomIsinya NaruHina, NaruHina, NaruHina, Yah~ semuanya gak jauh-jauh dari NaruHina. Dan yang jelas cerita ini isinya gak jelas. Disclaimer : Masashi Kishimoto Cover from Pinterest Story written by me ^^ Warning : OOC, Typos, no EYD