"Aku sudah di ambang kapasitasku, Hinata," raut wajah itu, aku jarang melihatnya. Antara keseriusan, dan juga putus asa.
"Ehm, entahlah, Naruto-kun."
"Aku sudah tidak tahan lagi. Jangan menggantungkanku terus."
"Kau tahu jawabanku, 'kan? Tentu saja aku ingin memberitahumu. Tapi, keadaan kita tidaklah memungkinkan."
"Jangan hiraukan mereka. Atau aku akan melepaskan semuanya."
"Naruto-kun."
"Kau tahu 'kan, aku tidak akan pernah menarik kembali kata-kataku."
"Tapi, Naru ...."
Ia pergi. Meninggalkanku yang termangu di tengah turunnya salju.
...
Aku memutuskan pulang. Tak akan ada yang berubah. Termasuk fakta bahwa hubungan kami di tentang oleh masing-masing keluarga.
Aku Hyuuga, dia Namikaze. Putri sulung keluarga mafia dan putra tunggal kepala kepolisian.
Apa yang bisa kami lakukan. Ketika hati ini memilih, kami tidak bisa apa-apa.
Menurutku, ini tidaklah salah. Tapi tetap saja, bagi mereka ini salah. Entah cinta kami, ataukah memang kami tak ditakdirkan bersama.
...
"Hei, kau terlihat lesu. Bukankah semalam kalian bersama untuk merayakan ulang tahunmu?" Sasuke, sepupu jauhku, sekaligus sahabatnya.
"Tidak," aku menggeleng pelan, "Ada apa mengajakku bertemu?" sekarang kami tengah berada di sebuah kafe tak jauh dari kediaman Uchiha.
"Sejak semalam dia di rumahku."
"Sekarang?"
"Baru saja pulang."
"Lalu?"
"Aku ingin kau mengawasinya. Setidaknya sampai rumah. Aku khawatir dia nekat."
"Nekat?"
"Ya, kau tahu sendiri 'kan, dia itu seringkali bertindak tanpa nalar. Kejutan."
...
Aku berlari menaiki tangga secepat yang kubisa. Ini gedung tua. Lift-nya sudah tidak berfungsi.
Sial, aku harus lebih cepat. Lima anak tangga lagi, dan aku akan sampai.
Aku mendobrak pintu baja yang telah usang di depanku. Akhirnya, ada udara segar di atas sini. Cuaca pagi ini juga bagus, tapi bukan ini yang kucari.
"Naru!"
Disana. Dia berdiri di dekat tepi pembatas.
"Kau bodoh, ya?!"
"Ya. Aku memang bodoh, Hinata. Dan orang bodoh ini mencintaimu!"
Ia menoleh. Menatapku dengan matanya yang memerah.
Aku tahu, semalaman ia menangis di rumah Sasuke.
Tanpa sadar air mataku turun, "Hentikan, bodoh!" aku berjalan mendekat ke arahnya.
"Kau yang berhenti, Hinata. Jangan mendekat," suaranya parau, dan tatapannya penuh kekecewaan.
"Baiklah kalau begitu," aku berhenti satu meter di depannya, "Aku akan ikut."
Ia membelalakkan matanya, namun segera ia kontrol ekspresinya.
"Kenapa kaget begitu? Kau sudah tahu 'kan kalau aku mencintaimu juga. Kalau kau mati, aku harus mencintai siapa? Memangnya kau tega melihatku bersama orang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NaruHina -Always And Forever-
RandomIsinya NaruHina, NaruHina, NaruHina, Yah~ semuanya gak jauh-jauh dari NaruHina. Dan yang jelas cerita ini isinya gak jelas. Disclaimer : Masashi Kishimoto Cover from Pinterest Story written by me ^^ Warning : OOC, Typos, no EYD