One Way Ticket

733 82 19
                                    

"Bisakah kau memberiku cuti untuk 2 bulan kedepan?" pria campuran Asia-Eropa itu memandang penuh harap pada sang atasan yang sedang duduk di kursi kebesarannya.

"Hm? Untuk apa?" pria bermasker dengan rambut peraknya mendongak, sekadar ingin tahu alasan dibalik permintaan bawahan--sekaligus mantan muridnya itu.

"Hinata sebentar lagi melahirkan. Ini anak pertama kami."

"Aku tahu perasaanmu, meskipun aku sendiri belum pernah menikah. Tapi kau tahu 'kan, jika misi disini belum selesai?"

"Ya, aku mengerti," lelaki itu pun segera berbalik setelah ber-ojigi dan pergi meninggalkan ruangan tersebut.

.
.
.

"Bagaimana?" tanya si pemuda raven pada sahabatnya yang terlihat kusut saat memasuki kamar.

"Tidak diterima," Naruto menghempaskan tubuhnya pada ranjang.

"Hanya perlu satu tiket 'kan?" si pemuda kembali bertanya.

Naruto hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan teman sekamarnya, sekaligus partnernya dalam menjalankan misi.

"Apa Hinata tahu pekerjaanmu?"

"Tidak. Dia tidak tahu tentang apapun."

"Lalu apa yang kau katakan padanya?"

"Ya~ dia pikir aku hanyalah seorang tentara yang menjaga perdamaian di perbatasan," Naruto tersenyum miris, "aku benar-benar suami yang buruk."

Pria pirang itu mengusap wajahnya kasar. Tidak tahu harus apa.

"Kau sendiri, apa Sakura-chan tahu tentang pekerjaan ini?"

"Tidak. Atau lebih tepatnya belum."

"Yah, kau memang lebih baik dariku, teme. Kau bisa mengatakannya nanti setelah kalian menikah. Dan, kapan kau akan melamarnya?"

"Minggu depan. Saat aku kembali."

"Semoga berhasil."

Hening. Setelahnya tak ada lagi yang bersuara. Sasuke merogoh sesuatu dari saku celananya.

"Ini. Ambillah," ia menyerahkan sebuah amplop pada Naruto.

"Apa ini?" ia bangun dari tidurannya dan menerima benda tersebut.

Naruto membukanya, dan, "Tiket? Tapi, bagaimana kau akan melamar Sakura?" Naruto mengernyit dalam, tidak mengerti dengan tindakan sahabat raven-nya.

"Sakura bisa menunggu, tapi bayi kalian tidak. Aku yang akan mengambil alih misi selama kau pergi," tutur Sasuke, membuat Naruto semakin tercengang.

"Tapi, teme ... kau ...."

"Tenanglah, biar aku yang mengurus Kakashi."

Sasuke tersenyum melihat ekspresi konyol partnernya itu. Ingin ia terbahak, namun Uchiha kan punya image yang tinggi.

"Kalau tidak mau, ya sudah."

"Eh. Tentu saja aku mau. Arigatou, Sasuke. Tapi, aku akan disana selama 2 bulan. Kau tak apa?"

"Heh, kau mengkhawatirkanku? Sebaiknya kau berkemas. Penerbangannya 3 jam lagi," Sasuke berbaring di ranjangnya dan menarik selimut, "pulanglah, dan katakan pada Hinata tentang pekerjaanmu."

"Aye aye, captain."

.
.
.

Keesokan harinya

Hari sudah berganti lagi. Tinggal menghitung hari untuk menunggu bayi kami lahir.

Aku menyibak tirai kamar kami, membuka jendela, dan merasakan sejuknya udara pagi.

Cuaca hari ini cerah. Matahari bersinar terang, mengingatkanku akan warna rambutnya.

Aku mengelus perutku pelan. Di dalamnya, tengah bergelung nyaman buah cinta kami. Sesekali ia akan menendang, membuat perasaanku menghangat.

"Semoga tou-chan cepat pulang ya, sayang," bisikku pelan pada bayi kami, meski sesungguhnya, aku hanya sedang meyakinkan diriku sendiri.

Tok Tok Tok

Kudengar seseorang mengetuk pintu depan. Aku bergegas keluar kamar dan segera membuka pintu.

"Tadaima, hime."

Itu dia. Dia berdiri di depanku. Apa aku bermimpi?

"Eh, kenapa kau menangis, sayang?" tanyanya khawatir dan segera mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menuruni pipiku.

"O-okaerinasai, Naruto-kun," aku menghambur ke pelukannya, menyesap dalam-dalam aroma yang sudah lama kurindukan.

"Aku disini, hime," ia mengusap pelan punggungku yang bergetar karena tangisanku.

.
.
.

"Maaf, ya. Beberapa bulan ini aku tidak menghubungimu. Aku juga tidak sempat mengirimimu surat."

Naruto mengusap lembut helaian indigo milik istrinya yang kini tengah bersandar di bahunya. Mereka duduk di sofa ruang tamu seusai melepaskan rindu melalui pelukan.

"Sebentar lagi, ya," ujar Naruto sembari membelai lembut perut buncit Hinata yang berisi buah hati mereka.

"Hu'um," Hinata mengangguk pelan, "lima belas hari lagi, kita akan menjadi orang tua, Naruto-kun."

"Hm, arigatou, hime," Naruto mencium puncak kepala sang istri.

"Hime ... sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Ini mengenai pekerjaanku," ucap Naruto dengan nada serius.

Hinata melerai pelukan mereka dan menatap lurus mata sang suami.

"Tidak perlu, Naruto-kun. Aku percaya padamu. Kau tak perlu mengatakan apapun. Aku mungkin tahu tentangmu lebih dari dirimu sendiri."

"Benarkah?" Naruto menatap tak mengerti pada istrinya itu.

"Ya. Karena seorang tentara masih bisa membawa foto keluarga mereka. Namun tidak denganmu, kau bahkan tak bisa memakai namamu."

Naruto tertegun mendengar ucapan Hinata.

"Hime, kau...." ia tak sanggup melanjutkan perkataannya, dan hanya mampu memeluk kembali sang wanita.

"Aku mencintaimu, anata. Apapun itu, jagalah. Meski aku istrimu, aku tidak berhak mengetahuinya. Karena aku percaya padamu."

"Arigatou, hime. Aku mencintaimu."

Pelukan hangat itu, seakan menggambarkan perasaan mereka. Bagaimana mereka saling mempercayai, meski tak ada kejelasan di antara mereka.

.

.

.

19 tahun lalu

Hinata berhenti berjalan saat melihat Naruto berlari ke arahnya.

"Ada apa, Naruto-kun? Kenapa lari-lari?"

"Hah ... hah ...." Naruto menyeka keringat di pelipisnya, "aku tahu, Hinata," ia menggunakan kedua lututnya sebagai tumpuan tangan-tangan mungilnya.

Hinata memiringkan kepalanya, "tahu apa?"

"Kau bilang, kau ingin menjadi seorang guru 'kan? Dan kau bertanya padaku, pekerjaan apa yang kuimpikan."

Hinata terdiam menunggu perkataan sahabatnya itu.

"Aku ingin, saat sudah besar nanti, menjadi agen FBI," cengiran lebar terpampang di wajah tan bocah tk itu.

Hinata tersenyum mendengar bahwa temannya itu sudah memiliki impian, bukan lagi ingin menjadi superhero ataupun power ranger.

NaruHina -Always And Forever- Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang