Musim Hangat

713 83 13
                                        

"Naruto-kun tahu tidak?" sang gadis menoleh pada anak lelaki yang kini tengah berbaring di sampingnya.

"Hm?" bocah berusia 7 tahun itu menyahut sang lawan bicara tanpa mengalihkan tatapannya dari langit sore.

"Bukan apa-apa," Hinata mengurungkan niatnya untuk bercerita.

Bocah lelaki itu mengalihkan pandangannya ke samping, ke arah gadis berambut gelap teman bermainnya itu.

Tatapan mereka bertemu. Sapphire dan amethyst itu saling menyelami keindahan masing-masing.

"Matamu indah, Hinata-chan," ujar Naruto masih tetap memandang lekat netra sejernih purnama di hadapannya.

"Benarkah? Tapi menurutku, mata Naruto-kun jauh lebih indah."

"Kenapa?"

"Entahlah, aku tidak tahu. Hanya saja, saat aku menatapmu, rasanya seperti melihat langit di musim panas. Atau samudra yang luas."

"Jadi, kau lebih suka yang mana?" ia kembali menatap langit yang telah berganti senja.

"Eh? Apanya?" Hinata tertegun untuk sesaat.

"Langit, atau laut?"

"Oh," bibir mungilnya membulat, tanda ia mengerti, "kalau Naruto-kun?"

"Tidak. Aku bertanya padamu, Hinata."

"Hm, aku harus menjawab, ya?" Hinata juga beralih menatap langit, "kalau aku, lebih suka Naruto-kun."

Gadis kecil itu tersenyum, membuat bocah di sebelahnya merasakan desiran aneh di dada kirinya.

"Tapi ... "

"Aku tahu, Naruto-kun suka pada Sakura-chan, 'kan?"

Naruto semakin menjadi tidak mengerti. Hinata memotong perkataannya dan juga mengetahui kelanjutannya.

.

.

.

"Kau lebih suka musim dingin, atau musim semi?"

"Aku lebih menyukaimu, hime."

"Jawab pertanyaanku, Naruto-kun."

Bukannya menjawab, pemuda itu malah menghapus jarak di antara mereka dengan mendekap sang gadis.

"Musim dingin. Aku suka musim dingin."

Hinata tak membalas pelukan itu, meskipun ia sangat ingin.

"Kau yakin? Kenapa bukan musim semi? Bukankah dulu kau sangat tergila-gila padanya?"

"Itu dulu, sayang. 10 tahun yang lalu. Aku hanya mengaguminya saja. Karena aku belum tahu, bahwa musim dingin jauh lebih hangat daripada musim semi."

"Bohong," bantah Hinata sambil mengerucutkan bibirnya. Namun anehnya, gadis itu kemudian memeluk sang pemuda balik.

"Kenapa aku harus berbohong? Nyatanya sekarang aku sedang bersama kehangatan itu. Musim semi tidak akan ada tanpa musim dingin. Dan, kekasihku juga lahir di musim dingin ini."

"...."

"Selamat ulang tahun, hime. Maaf terlambat. Dan tak ada apapun."

"Hu'um. Terima kasih. Kau sudah datang saja, sudah lebih dari apapun."

Salju kembali turun. Badai yang baru reda beberapa jam lalu mungkin akan datang lagi.

...

"Hei, masuklah. Kalian bisa sakit," Neji melongokkan wajahnya dari daun pintu kediaman Hyuuga. Ya, mereka sedang berpelukan di pekarangan dengan tumpukan salju di sekeliling.

Tak ada pilihan, dan sekarang mereka tengah menikmati teh hangat di ruang keluarga.

"Kemana oba-san dan oji-san?" Naruto membuka percakapan.

"Mereka masih ada di luar kota. Jangan berpikir macam-macam pada Hinata," ancam Neji pada sahabatnya itu.

Hinata hanya diam, sesekali tersenyum mendengar pembicaraan Naruto dengan kakak sepupunya itu. Ia memerhatikan kekasihnya yang selama ini selalu jauh darinya.

Pekerjaan ayah Naruto menuntutnya untuk selalu berpindah tempat. Mau tidak mau pemuda itu harus ikut karena harus menemani ibunya.

Kushina memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Jadi, ketika Minato harus bekerja tanpa mengenal waktu, Naruto lah yang harus selalu siaga.

"Menginaplah untuk malam ini," ucap Neji seusai menyesap tehnya.

"Apa tidak masalah? Nanti aku merepotkan kalian."

"Sudahlah. Kau bisa berangkat besok pagi. Lagipula Paman Minato ada bersama Bibi Kushina 'kan? Nyatanya kau bisa kemari, meski hampir terlambat 5 menit."

"Baiklah kalau kau memaksa. Lagipula sepertinya kau khawatir sekali padaku."

"Siapa yang khawatir, baka? Aku hanya kasihan padamu."

Hinata kembali tersenyum melihat tingkah mereka. Hinata benar-benar mendapatkan kehangatan dalam ulang tahunnya kali ini.

NaruHina -Always And Forever- Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang