Hiraeth

20 4 5
                                    

(n.) a homesickness for a home which cannot return, a home that maybe never was.

Di separuh perjalananku pergi, ada yang selalu membawaku kembali. Seperti angin yang tiba-tiba berhembus sambil membawa potongan memori. Potongan yang kemudian menjadi utuh dalam pikirku, menjadi penuh untuk rasaku.

Pergi kini bukanlah alasan untuk melupakan, cukup untuk menutup luka lalu kembali bersua. Sudah beberapa kali kucoba memberi ruang untuk rindu hingga ia bosan menempatinya. Namun, jarak memang terlalu subur untuk jadi tempat tumbuhnya.

Rasanya tidak seperti menjelajah waktu lewat labirin yang berputar. Ia tak pernah mendesak, tak pernah memaksa, tak pernah membingungkan. Ia dengan lembut menggenggam tanganku dan menuntunku kembali.

Sesuatu yang pernah ditinggalkan memang tak pernah sama. Tempat itu, yang dahulu pernah jadi rumah dari sajak rasaku, pun begitu. Terasa asing, tetapi sangat hangat menyambutku. Dan jika ia tanpa sengaja meraih gelar rumah, akan kusebut perjalanan kembaliku sebagai "pulang".

Aku yang pergi pun tak pernah sama. Perlahan menggiring pergi satu persatu awan gelap asumsi yang pernah hampir jadi badai. Menemukan cahaya lewat definisi-definisi lain tentang cinta yang tak pernah kutemui sebelumnya.

Jalanku tidak berliku, belum memiliki persimpangan. Yang terbentang antara aku dan tempat itu hanya rindu dan pelajaran. Hidup kadang terlalu adil untuk dipahami. Begitulah caranya bekerja dalam perjalananku ini;

Jika akhirnya aku berhasil pergi, aku masih menggenggam kenangan untuk jadi pelajaran agar tak perlu pergi dari rumah selanjutnya. Begitu pula jika ternyata rumahku ada di sini.

Hiraeth.

disA

21 April 2019

Hanya SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang