Kepingan puzzle hidup Angsana mulai tersusun satu per satu akan kehadiran Dimas. Jati diri Dimas yang selama ini dibencinya dan juga sangat dicintainya membuat Angsana merasa sangat dipermainkan. Pada saat seperti inilah, tidak ada orang lain yang l...
Angsana menghabiskan kopi instannya sebelum akhirnya meninggalkan rumah. Hari ini dia berangkat kerja seperti biasanya. Mengunci pintu rumahnya, mengayuh sepedanya. Lamunannya melayang jauh pada tiga dekade yang lalu.
Di hari pertama kelahirannya, bukan kasih sayang keluarga yang dia dapatkan, melainkan perpisahan dengan ibu yang melahirkannya. Bayi merah itu dibuang di tempat pembuangan sampah di sebuah desa kecil di Salatiga.
Seorang wanita tua berusia 50 tahun menemukannya. Memberinya nama Angsana, tempat di mana dirinya ditemukan, di bawah pohon angsana tua.
Angsana tumbuh bersama dengan wanita yang dipanggilnya Embah, atau nenek. Berbahagia dalam keadaan yang serba pas-pasan. Namun Embah selalu ingin agar Angsana mempunyai penghidupan yang lebih baik dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Agar kelak hidupnya lebih bahagia dan bukan kesusahan yang dipunya.
Namun hidup tidak selalu berbelas kasih. Beberapa orang menganggap Angsana sebagai anak haram atau anak pungut. Membuat masa kecilnya kadang dipenuhi air mata sepulang sekolah.
Angsana tumbuh sebagai anak yang biasa saja. Pintar, namun tak cukup pintar untuk selalu menduduki peringkat 3 besar. Rajin, meski bukan yang paling rajin. Cantik, namun tidak cukup banyak menarik perhatian lawan jenis. Angsana hanyalah gadis rata-rata dalam keadaan yang serba pas-pasan. Tak pula punya bakat menonjol yang bisa disandingkan dengan yang lain.
Namun begitu saja sudah membuatnya bahagia terlahir ke dunia. Ditakannya itu hampir setiap hari kepada Embah. Salah satu hal yang membuat Embah merasa sangat bahagia di masa tuanya.
Lamunan Angsana terhenti saat dia tiba di depan tempat parkir sepedanya. Menyapa ramah Pak Sugeng, satpam kantor yang bertugas pagi itu, mengganti bajunya dan membersihkan mukanya serta berdandan di dalam toilet yang ada dekat tempat parkir sebelum kemudian memasuki gedung tempatnya bekerja.
"Mbak Sana, data untuk rapat hari ini udah siap?", sapa Joko, karyawan satu bagian dengannya.
"Sudah, sudah, kemarin sudah saya print, ada di meja koq, Jok.", jawab Angsana sembari berjalan bersama Joko ke mejanya.
Angsana bekerja sebagai staff divisi gudang pada salah satu perusahaan retail besar di Jakarta. Pekerjaan yang dinilainya sebagai berkah untuk orang sepertinya. Tidak ada lagi yang ada dalam pikiran Angsana sepeninggal Embah. Ia hidup serasa bagai perahu tanpa awak yang mengalir begitu saja mengikuti sungai.
Sebelum takdir mempertemukannya dengan Angsana, Embah kesepian. Suaminya meninggal dunia beberapa bulan setelah menikahkan anak bungsu perempuannya. Ketiga anaknya yang lain sudah berumah tangga, dan tidak ada satu pun yang datang menengok Embah. Terang saja, sebab Embah bukanlah ibu kandung mereka.
Bagi mereka, Embah akan selalu dipandang sebagai orang asing. Meski dia adalah istri kedua sang ayah yang bercerai dari ibu kandung mereka. Meski Embahlah yang merawat mereka pasca perceraian itu. Dengan perhatian yang selayaknya ibu kandung, namun rupanya itu belum cukup bagi mereka untuk menganggapnya ibu.
Angsana adalah berkah bagi Embah dalam kehidupan sepinya. Memberikan warna yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Meskipun dia sendiri merasa tidak bisa memberikan penghidupan yang layak. Beruntung orang-orang di desanya membantunya untuk mengurus akta pengangkatan anak. Sehingga Embah bisa tenang menghabiskan sisa hidupnya bersama Angsana.
Di dalam kesederhanaan itu, keduanya saling melengkapi. Embah yang tak pernah mempunyai anak, bertemu dengan Angsana yang tak pernah mengenal orang tua. Tuhan telah memberikan kebahagiaan diantara banyaknya kesulitan yang mereka hadapi.
Sayangnya, Embah harus meninggalkan Angsana saat dia berumur 18 tahun. Tepat saat Angsana lulus SMA. Seolah takdir memang menuliskan Embah harus merawat Angsana hingga dewasa.
Kepergian Embah membawa duka panjang bagi Angsana. Bukan hanya dia harus ditinggalkan Embah, namun juga dia kehilangan seluruh dunia yang dipunya. Tak kuat menahan kesedihan atas kepergian Embah, Angsana harus rela merobohkan rumah kecilnya dan pindah ke kota Solo untuk kuliah dengan tabungan Embah yang dituliskan untuk biaya mendaftar kuliah Angsana. Kepindahan Angsana adalah wasiat dari Embah. Embah ingin putri kecilnya mempunyai kehidupan yang lebih baik.
"Embah tau, Sana anak yang kuat. Pergi kejar cita-citamu. Temukan hidup yang lebh baik. Lalu berbahagialah. Ingat, Sana kuat. Sana kesayangan Embah..."
Begitu kalimat Embah sebelum meninggalkan Angsana untuk selamanya.
Pada akhirnya, Angsana hanya bisa menuruti pesan Embah untuk terakhir kalinya. Menemukan kehidupan baru, meskipun tak lebih baik dari sebelumnya. Namun begitulah hidup, terkadang lembut seperti kasih ibu, namun terkadang kejam.
"OK, mbak. Saya bawa ini ke Pak Ardi dulu ya. Makasih banyak, mbak," kata Joko sembari membawa berkas itu ke ruangan yang dituju.
"Sama-sama," ujar Angsana pendek.
Angsana lantas duduk di atas meja kerjanya. Meletakkan tas ranselnya di bawah, lalu merapikan rambutnya sebentar. Ditarik kuat nafasnya sembari membuka laci mejanya. Diambilnya sebuah potret kecil dirinya dengan Embah. Diusapnya pelan sambil terus memandangi wajah sosok yang selama ini dikenalnya sebagai Ibu.
"Selamat ulang tahun, Mbah. Al Fatihah," ujarnya lirih sembari mengucapkan doa.
Hari ini adalah hari ulang tahun Embah.
Catatan Penulis
Angsana adalah nama sebuah pohon dengan bunga warna kuning kecil yang sering berguguran dengan indah. Pohon ini terdapat di sekitar danau Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang merupakan kampus saya dulu.
Saya mengambil inspirasi nama Angsana dari sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.