02.5

1.3K 77 4
                                    

Angsana terhenyak. Ini adalah ruangan Premium, atau VVIP. Dirinya tak pernah berani membeli tiket ini meskipun sendiri. Dia tidak tahu seperti apa pergaulan kelas atas. Dan juga karena dia sendiri pun tak pernah punya teman yang bisa diajak bepergian. 

Kecanggungan Angsana justru membuat Seto semakin senang. Bagaimana tidak, Angsana semakin menggenggam erat tangan Seto akibat kegugupannya memasuki ruangan bioskop yang penuh dengan kursi bak tempat tidur itu. 

Selayaknya bersama kekasih, Seto menuntun Angsana menuju kepada nomor tempat mereka. Angsana semakin canggung. Bagaimana dia harus menonton? Apakah harus duduk, tetapi nanti akan mengganggu orang di belakangnya. Apakah harus sambil tiduran? Tapi disampingnya adalah Seto, orang yang baru-baru ini saja dia dekat. 

"Relax aja, kita kan kesini buat nonton, jadi dinikmati aja. Jarang-jarang kan Mbak Sana kesini?", kata Seto menenangkan Angsana yang sedang kebingungan.

"Aduh, jangan panggil mbak donk, saya yang harusnya manggil Mas Seto karena lebih tua."

"Baiklah, aku panggil Sana, tapi jangan panggil Mas Seto juga, Seto aja gapapa koq." 

Angsana tersenyum masih sambil memperhatikan sekeliling. Sedangkan Seto sudah rebahan di sebelahnya. Seraya bangkit dengan posisi memiringkan tubuhnya, diulurkan tangannya menuntun Angsana duduk menyandar pada sandaran dan meluruskan kakinya. Jantungnya berdebar keras kala menatap Seto. 

Selepas film berakhir, Seto langsung melarikan mobilnya ke restoran yang sudah dipesan. Lagi-lagi Angsana tercengang. Ini bukan restoran biasa, tapi fine dining

"Seto, saya merasa seperti Cinderela hari ini", kata Angsana setelah dipersilakan duduk oleh pelayan restorannya. 

"Bukan Black Widow?", canda Seto.

"Black Widow bukan putri sih."

"Kalau gitu, Putri Leia, kan putri Disney juga."

"He?...Ah...iya betul Putri Leia termasuk putri Disney ya sekarang"

Mereka tertawa. Kegugupan Angsana mulai mencair dengan candaan Seto. Meski dia masih bingung mengapa makanannya datang tanpa dipesan terlebih dahulu. Sedangkan Seto, masih tertawa geli dengan tingkah Angsana.

"Boleh kulihat tanganmu?"

Angsana terhenyak, namun entah mengapa diulurkannya saja tangan kanannya.

Seto menggenggamnya. Diusap-usapnya ibu jarinya pada jemari Angsana. Membuatnya berdebar kencang dan gemetar. Namun Seto tidak segera melepas genggamannya. 

Dalam benak Seto, tangan Angsana merupakan cerminan kerasnya hidup. Tangan yang tidak begitu halus, kurus namun keriput ini adalah tangan seorang pekerja keras. Bagaimana bisa seseorang bisa bangkit berkali-kali dari sebuah kegagalan tanpa seorang pun yang berada benar-benar di sisinya?

Seto tidak habis pikir dengan hal itu. Baginya, Angsana adalah cerminan seorang wanita yang kuat. Di matanya selama ini, hanyalah ibunya yang dia gambarkan sebagai wanita yang kuat. Namun sejak bertemu dengan Angsana, dia melihat ada simbol wanita kuat pada kategori yang lain dari ibunya. 

Angsana menarik tangannya, merasa sedikit tidak nyaman.

"Ah, maaf.  Aku hanya penasaran, tangan kamu kurus tapi koq keriput ya?"

"Hih kesal. Kamu bukan satu-satunya orang yang berkata demikian, Seto.", Angsana bersungut, namun Seto malah tertawa.

Angsana memperhatikan Seto kali ini. Seto tampan. Mungkin hanya nasibnya saja yang sial. Tapi hidup memang kurang berpihak pada orang seperti mereka, pikirnya. 

"Mungkin, kalau kamu tidak mengalami banyak kegagalan, saat ini kamu bisa seperti mas-mas disana. Eksekutif muda, CEO, atau manager mungkin." Kata Angsana sambil menunjuk pada para eksekutif muda yang sedang berkumpul pada satu meja lengkap dengan jasnya.

"Nggak mau ah, hari minggu aja mereka harus kerja. Mending saya buat habisin waktu sama keluarga, kan?"

"Seto tipe pecinta keluarga ya?"

"Keluarga bagi saya nomor satu, Sana."

"Tapi, kenapa nggak mau pulang ke rumah untuk menengok orang tua?"

Seto tersenyum. pertanyaan Angsana tepat mengenai sasaran.

"Hmmm...kenapa ya? Mungkin karena gengsi,"

"Nggak boleh begitu tau, Seto harus bersyukur masih punya orang tua utuh. Saya, satu-satunya orang tua saya sudah tidak ada."

Raut wajah Angsana mendadak menjadi sendu. Seto memahami sepenuhnya. Namun belum sempat dirinya menenangkan Angsana, makanan utama datang. Lalu pembicaraan berubah arah menjadi soal makanan hingga selesai waktu makan.

Seto mengantar Angsana sampai ke depan pintu rumahnya. Angsana tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih telah mengajaknya menikmati pergaulan kelas atas yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya. 

Di bawah remang lampu teras rumah, Seto menyibakkan rambut Angsana sebelum melepasnya masuk ke dalam rumah. Digenggamnya tangan Angsana perlahan.  Sedangkan tangan satunya mengelus pipinya. Jantung Angsana hampir copot karenanya.

Angsana mengira Seto akan mendaratkan ciuman padanya. Dia tidak siap dengan itu. Seto memang berniat untuk itu, namun ditahannya. Dia meletakkan keningnya pada kening Angsana. Lalu melepas tangan di dagu Angsana dan meletakkannya ke tangan Angsana. 

"Angsana, mulai sekarang, kalau kamu sedang sedih, ada masalah, ceritalah. Aku bersedia untuk mendengar keluh kesahmu. Aku nggak mau kamu merasa sendirian. Aku akan selalu ada untuk kamu, Angsana. Sekarang, masuklah. Selamat tidur. Terima kasih untuk hari ini. Aku senang sekali."

Seto melepas genggaman tangannya, lalu membukakan pintu rumah Angsana. 

Angsana masih terdiam mematung atas apa yang baru saja dialaminya. Dia tidak pernah berharap akan diperlakukan seperti ini. Dan tidak pernah ada yang mengucapkan hal seperti itu sebelumnya. 

Angsana masuk ke dalam rumah dengan masih bergetar. Melihat Seto memacu mobilnya, seketika tangis Angsana pecah. Ada rasa bahagia yang merasuk, namun ketakutannya lebih besar. Dia tidak ingin terlalu jauh berhubungan dengan Seto. Dia takut jika semakin dekat, maka dia akan mencintainya. 

Angsana ketakutan.

Bayang-bayang masa lalunya kembali merasuki pikirannya. Angsana tidak ingin jatuh cinta. Cukuplah dia menyukai orang dari kejauhan saja seperti rasa sukanya pada Budi. Tapi dia tidak ingin jatuh cinta.

"Tuhan, tolong hentikan perasaan berdebar ini. Hentikan rasa bahagia ini. Aku tidak mau jatuh cinta, Tuhan. Aku tidak mau mengulangi sakit lagi. Tuhan, aku sudah cukup bahagia dengan kesendirian ini."

Belum kering air matanya, Seto memberikan pesan singkat di ponselnya.

-- Angsana, kamu cantik hari ini. Selamat tidur.---

Air matanya kembali menetes. Dia tidak ingin memberikan harapan pada Seto. Lebih tepatnya, dia tidak ingin mengecewakan Seto dengan masa lalunya.


Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang