05.1

1.4K 71 0
                                    

Sudah tiga hari Angsana tidak masuk ke kantor. Berita ini sampai juga ke telinga Mukhlis. Sambil tersenyum kepada Joko yang memberitakannya, Mukhlis hanya berkomentar singkat.

"Terkadang, kita perlu kehilangan seseorang untuk benar-benar tahu seberapa berharganya dia." Meninggalkan Joko yang penuh tanda tanya mengartikan perkataan Mukhlis. 

Sementara itu di kantor, Anne melampiaskan kemarahan akan ketidakhadiran Angsana pada tim inventaris gudang. 

"Gimana sih kalian!! Ngurus kayak gini aja nggak becus. Sama aja ternyata satu ruangan nggak ada yang bener. Heran bisa-bisanya kalian diterima di sini." Sembari berkacak pinggang, Anne meninggalkan ruangan dengan penuh emosi. 

Bilqis dan Tania saling berpandangan sebelum saling menghela nafas. Mereka tidak bisa membantah perkataan Anne karena memang selama ini mereka terlalu mengandalkan Angsana untuk memberitahu apa saja yang mereka harus kerjakan. Tanpanya, mereka merasa seperti kehilangan induk.

Raka melihat pemandangan itu dari atas tangga, memandangi Anne yang berlalu dengan tatapan tajam sembari mengepalkan tangannya menahan emosi. Dia tahu, sebelum itu, Anne dan teman-temannya lebih dulu bergosip tentang Angsana. 

Di pantry, Seto merasa gelisah. Tampak dia sedang berpikir keras akan sesuatu. Jupri yang mengamatinya sejak lama, mencoba membuka suara.

"Emang bener ya loe pacaran sama Mbak Sana?"

Pertanyaa itu hanya dijawab Seto dengan anggukan cepat. 

"Wah terlalu berani."

"Kenapa emang?"

"Kalo loe yang pekerja, mbak Sana yang OB sah-sah aja, To. Ini loe yang OB. Ya pantes sekrang mbak Sana jadi bahan gosip orang-orang."

"Emang salah kalo kita OB pacaran sama pegawe kantor?"

"Ya pikir aja sendiri, kalo lo ngajak dia nikah, terus gaji dia di atas loe, apa loe nggak malu? Posisi loe lebih rendah dari bini, mau minta-minta duit dari dia apa? Kalo gue ya malu lah. Meski gue suka sama Nandita dari keuangan, tapi gue juga mikir seribu kali mau deketin."

"Nanditanya juga belum tentu mau sama loe, Jup."

"Lah iya, makanya. Loe cuma beruntung aja mbak Sana mau. Tapi katanya mbak Sana jomblo udah lama. Ya wajar sih buat cewek seumur dia kalo nerima siapa aja yang suka. Lah seumurannya aja udah pada nikah, punya anak. Bu Anne aja anaknya udah tiga. mereka kan seumuran."

"Eh, ati-ati loe kalo ngomong!"

"Sorry, sorry, bukan maksud gue menghina, To."

Seto merasa tersulut emosi mendengar pernyataan Jupri tentang Angsana. Tak ingin melanjutkan emosinya, Seto mengalihkan perhatiannya kepada ponselnya hingga waktu kerjanya habis. Seto tak sabar untuk memacu sepedanya menuju ke rumah Angsana.

Gerimis siang ini tidak menghalangi Seto untuk melajukan sepedanya dan menghentikannya tepat di depan rumah Angsana. Dimasukkan sepedanya ke dalam halaman rumah Angsana yang memanjang. Pintu depan rumah Angsana terbuka sedikit, Seto mengintip ke dalam.

Angsana nampak tertidur di bawah karpet di depan televisi. Laptopnya terbuka. Seto masuk ke dalam ruangan perlahan. Nampak di layar laptopnya, surat keluar apda email Angsana. Nampaknya dia usai mengirim lamaran pekerjaan. Seto membaca sekilas surat terkirim pada HRD kantornya. Surat pengunduran diri. 

Dipandangi kekasihnya yang sedang tertidur. Gurat lusuh pada wajah tanpa polesan make up membuat mata Seto sedikit berkaca-kaca. Pikiran Seto tertuju pada cerita hidup Angsana dan membandingkan dengan dirinya sendiri.

 Ada rasa malu yang menyusup. Jika dia sering mengeluh mengenai jatuh bangun yang dia rasakan selama ini, Angsana tak pernah mengeluhkan ketidak adilan yang diterimanya. Jika dia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang lengkap, Angsana hanya mengenal ibu angkatnya sebagai sosok ibu juga ayah. 

Seto ingat, Angsana pernah berkata, bahwa dia beruntung bertemu dengan Embah. Karena masih banyak anak-anak yang dibuang, tetapi berakhir di panti asuhan dan hingga besar tidak mendapat asuhan orang tua angkat. Untuk hal sesederhana itu, menjadi alasan Angsana untuk bersyukur dan tidak pernah mengeluhkan tentang keadilan. Hal sederhana itu, yang membuat Seto semakin jatuh cinta pada kekasihnya. 

Dibelainya rambut Angsana dengan lembut. Nampak olehnya banyak uban yang tak lagi malu untuk tumbuh. Menyiratkan betapa keras hidupnya. Diusapkan dua jari tangannya pada pipi Angsana yang bersih tanpa jerawat. Angsana mengeliatkan wajahnya. Membuka mata perlahan. Nampak olehnya senyum kekasih yang dirindukannya. 

"Maaf, aku ketiduran."

"Tidur lagi aja kalau masih ngantuk. Di luar hujan juga, enak buat tidur berdua."

"Heh! Jangan macem-macem!!"

Seto tertawa. Candaannya hanya untuk menggoda Angsana. Dia sangat paham, Angsana tidak ingin mengulangi kesalahan terdahulu. Dia menghormati itu dan berusaha untuk selalu menjaga Angsana. 

"Udah ngirim surat pengunduran diri?"

Angsana mengangguk sembari bangkit dari tempatnya mengambil segelas air.

"Udah yakin?"

"He-eh"

Seto menyodorkan sebuah iklan lowongan pekerjaan pada koran hari ini. 

"Ada perusahaan digital security yang lagi nyari PR. Coba daftar deh."

"PR? Aduh, aku nggak pinter melobi orang."

"Kata siapa? Aku suka liat cara kamu ngobrol sama klien loh, keren itu, buktinya mereka selalu balik lagi, mintanya kamu pula."

"Sejak kapan kamu merhatiin aku?"

"Sejak masuk kantor, donk"

"Ngeri"

"Kan suka"

"Suka aja?"

"Sayang"

"Hmm?"

Seto tertawa, lalu melingkarkan tangannya ke leher Angsana dari belakang.

"Kamu tu, kerja jadi apa aja cocok. Cuma kamu itu kurang percaya diri. Pikiranmu selalu dipenuhi dengan hal negatif tentang dirimu sendiri. Yang kamu kurang cantik, kurang pintar, kurang cakap, kurang rapi. Hilangkan itu."

"Tapi memang nyatanya orang mengeluhkan aku seperti itu."

"Dengerin ya, orang itu tidak suka bukan karena kamu tidak mampu. Justru karena kamu mampu, lalu mereka tidak ingin kamu berada jauh di atas mereka, makanya kamu banyak dikritik. Ada lagi, mereka ingin mengatur segalanya sesuai dengan keinginan mereka. Dan ketika kamu punya pemikiran yang lebih bagus, wajar lah kalau mereka pada akhirnya membunuh pikiranmu. Kamu sebetulnya bisa melawan itu, tapi kamu terlalu mengambil semua kritikan itu sebagai hal yang benar tentang karaktermu. Lama-lama, kamu percaya bahwa ini adalah kamu, aslinya, kamu lebih dari itu, sayang."

"Emang gitu?"

Seto tersenyum gemas pada kekasihnya, "Apa kamu pikir aku ngapalin dialog tadi?"

Angsana tertawa, lalu mencium lengan Seto yang masih melingkar. Lalu mengambi potongan koran yang dibawa Seto. 

"Tapi aku nggak tahu tentang digital security. Make sosmed aja aku masih gaptek."

"Kan  nanti diajarin dulu. Yang penting, kamu keluarkan teknik melobi kamu, ditambah sedikit percaya diri dan belajar kalimat-kalimat iklan. Kuncinya kan di situ. Komunikasi."

Angsana mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu melepaskan diri dari pelukan Seto. Menuju ke laptopnya yang masih menyala. Sementara Angsana sedang sibuk mencari informasi tentang hal tersebut, Seto duduk di sofa. Pandangannya tertuju ke arah Angsana, namun pikirannya melayang pada dua hari yang lalu. Pertemuannya dengan Irwan tanpa sepengetahuan Angsana.

Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang