01.4

1.1K 87 2
                                    

Seto sengaja tidak pulang malam ini. Dia tahu, Angsana belum pulang. Dan benarlah, wanita itu sedang sibuk di depan komputernya. Sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Semua orang di kantor sudah pulang sedari pukul 6 sore. 

Diletakkannya sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat di meja. Angsana menghentikan ketikannya. Menoleh ke samping, lalu terkejut dengan kehadiran Seto.

"Makan dulu Mbak Sana. Udah jam 8", katanya sambil tersenyum dan berusaha menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut Angsana.

"Uhh.." Angsana menghindar, lantas mengambil sendok dari tangan Seto.

"Makan dulu mbak, nanti sakit perutnya."

Angsana akhirnya menyuap nasi ke dalam mulutnya. Seto tersenyum senang melihatnya.

"Koq belum pulang?"

"Iya tadi udah mau pulang, tapi liat ruangan ini masih nyala, kupikir pasti Mbak Sana belum pulang. Ya sudah, sekalian saja beli nasi goreng di depan, nemenin Mbak Sana deh. Takut digangguin."

"Lebay ah kamu. Siapa uga yang mau gangguin orang kayak saya, Seto. Lagian ada Pak Badrun kan yang jaga malam", kata Angsana sambil terkekeh senang.

"Ya, siapa tahu gangguan makhluk halus,"

"Ih kamu bikin takut aja", kata Angsana sembari memukul badan Seto dengan buku di depannya.

"Makanya saya temenin mbak," kelakar Seto.

Angsana berani terhadap preman, namun takut mendengar cerita hantu. Sedangkan Raka sangat berkebalikan dengan Angsana. Hal itu membuatnya terus digoda Raka.

--**--

"Eh denger ceritanya Rani anak marketing nggak? Katanya kemaren pas lembur digangguin loh. Ada yang manggil namanya pas di toilet lantai 7, eh ga ada orang ternyata," cerita Raka suatu hari. Angsana memilih diam dan tidak menghiraukan.

"Katanya sih toilet lantai 7 angker. Ada juga OB lama pas bersih-bersih jam pulang kantor gitu cerita kalo ada toilet yang ketutup terus denger suara orang lagi buang air, ternyata pintunya ga kekunci kan, pas dibuka, eh ga ada orang tapi kedengeran suara nge-flush," lanjut Raka membuat Angsana tidak nyaman.

"Terus si Jupri, OB lantaimu itu katanya pernah ngerasa diikutin dari kantor sampai rumah loh," lanjutnya membuat Angsana semakin tidak nyaman.

"Brak!!" Angsana menggebrak meja.

"Eh kampret, tau kan aku tinggal sendiri? Tau kan aku takut? Ngapain si ah cerita serem kek gini?" dengus Angsana dengan marah dan hanya disambut tertawa oleh Raka.

"Ya...nanti aku temenin boboknya," canda Raka dengan masih tertawa terbahak.

"Dasar mesum!" Ucap Angsana sambil beranjak kesal, sedangkan Raka tertawa puas.

--**--

"Sudah selesai mbak ngolah datanya?" tanya Seto masih menemani Angsana di ruangannya sambil memainkan game di ponselnya.

"Sudah, ini tinggal dikirim ke Budi."

Seto terdiam. Dia tidak ingin merespon apapun yang berhubungan dengan Budi.

"Done!", Angsana mememcet tombol enter di komputernya, "Aku mau pulang, kamu masih mau disini atau pulang?"

Seto beranjak dari tempat duduknya, "Ya pulang lah Mbak Sana. Takut juga nanti kalau ada hantu."

"Ish apaan si kamu ngomong hantu mulu. Saya tinggal sendiri loh Seto, nggak di kos-kosan."

Seto terkekeh senang, "Yaudah yuk pulang mbak. Pakai sepeda kan? Saya juga. Rumah Mbak dimana?"

"Dekat dari sini, di Kampung Rambutan, kamu?"

"Eh, saya di sekitar sana juga mbak, di kos-kosan pria gang Asri 3."

"Wah kalau dari sini berarti setelah rumah saya."

"Bareng yuk mbak, lagian udah malam juga ga baik wanita pulang sendiri."

"Seto...Seto...saya udah biasa sendiri." kata Angsana sambil tersenyum getir.

Seto menangkap kegetiran dalam raut wajah Angsana. Ingin rasanya bertanya lebih jauh, namun urung karena ketakutannya akan sangkaan lancang. Dia hanya terdiam, dan berjalan mengikuti Angsana yang bergegas turun untuk mengambil sepedanya. 

"Mbak Sana, boleh tanya-tanya?", kata Seno saat mereka mengayuh sepeda.

"Kenapa?"

"Mbak Sana koq tinggal sendirian?"

Angsana tersenyum. Pandangannya jauh ke depan. Lalu menghela nafas dalam.

"Ibu angkat saya sudah meninggal lama, Seto. Hampir setengah umur saya yang lalu. Saya tidak punya siapa-siapa selain ibu angkat saya. Saudara pun tidak. Bersyukurlah kamu masih punya keluarga."

Bagai tersambar petir Seto mendengarnya. Dia tidak pernah mendengar banyak tentang Angsana. Wajar saja, akrena Angsana bukan merupakan karyawan populer di kantor. Keberadaannya terasa hanya sebagai pelengkap. Dia bekerja dengan kesungguhannya, namun tidak pernah bisa mencapai batas apresiasi seperti karyawan lainnya. Bukan akrena dia malas atau tidak mampu, hanya saja keberuntungannya tidak sebanyak yang lain.

"Mbak Sana hidup sendiri selama ini?"

"Iya,"

"Saya pikir mbak Sana pacarnya mas Raka."

"Raka?", Angsana tertawa, "Dia temanku. Mungkin, hanya dia yang mau berteman denganku. Lagipula, Raka pacaran dengan Sekar Kinanti, karyawati tercantik itu sejak bulan lalu. Masak kamu nggak tahu?"

"Saya kurang percaya, Mbak. Soalnya mas Raka kan mulutnya pedes banget ya, sedangkan mbak Sekar itu seperti puteri keraton halusnya."

"Manusia diciptakan berpasangan, bukan? Justru dengan begitu mereka saling melengkapi."

Angsana mengerem sepedanya. Seto mengikutinya dengan sedikit terkejut dibuatnya.

"Rumah saya disini, Seto."

Seto memandang rumah kecil dalam kegelapan. Angsana menyalakan steker lampu depan yang terdapat di balik tembok pagarnya. Sebuah rumah yangs angat kecil di antara perumahan asri di sekitarnya. Angsana membuka pintu gerbangnya. 

"Saya masuk dulu ya. Makasih banyak sudah ditraktir nasi goreng, ditemenin lembur dan diantar pulang."

"Iya mbak, sama-sama. Mbak Sana istirahat ya. Saya liatin dari sini sampai mbak Sana masuk rumah."

Angsana tertawa, dan bergegas memasukkan sepedanya ke dalam halaman rumahnya.

Seto masih di atas sepedanya dan masih memandangi rumah Angsana dari luar. Seketika lampu dalam rumah dinyalakan, Seto memandanginya dengan perasaan gelisah. Ada yang memukul dadanya dari dalam dengan keras. 



Catatan penulis:

Masih agak terbata dalam mengembangkan karakter Seto. Tapi semoga di part berikutnya bisa lebih puitis lagi dalam mendeskripsikan Seto. 



Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang