04

1.2K 78 1
                                    

Angsana,

Tahukah kamu betapa luar biasanya dirimu?

Kau membuatku tertawan tanpa perlu banyak berkata

Hatiku telah tercuri olehmu

Dan aku tak menginginkannya kembali


Dimas


Angsana masih membolak-balikkan kartu yang memuat sajak Dimas. Sejak kapan dia mengenal sosok bernama Dimas di dalam kehidupan sehari-harinya? Lebih tepatnya, dimana dia bertemu Dimas? 

Tak kurang akal, Angsana mencari informasi mengenai Dimas di internet. Namun hasilnya nihil. Satu-satunya informasi yang dia dapatkan adalah berita mengenai Ratna Arum yang rela melepas putra bungsunya untuk bersekolah SMA di luar negeri. Tidak ada foto. Tidak ada berita. Sungguh sangat kontras dengan Arya Sena yang berita dan wajahnya tersebar di berbagai media. Itu pun tak membantunya menemukan informasi mengenai Dimas. 

Angsana masih ingin bertanya kepada Ratna, namun rupanya Ratna sudah meninggalkan kantornya. Sehingga diurungkan niatnya sembari membereskan meja kerjanya dan bersiap untuk pulang cepat hari ini. 

"Tumben pulang cepat mbak?", tegur Joko.

"Sekali-kali pulang cepat lah, masak pulang malam terus. Kamu ini ah."

Kali ini, Angsana hanya ingin menghibur dirinya sendiri akan segala konspirasi alam yang menimpanya. Tentang cinta yang tumbuh kepada Seto. Tentang kekhawatirannya tentang masa lalu yang tiba-tiba memaksa untuk terkuak. Dan juga tentang sosok Dimas yang memaksa untuk masuk ke dalam hidupnya. 

Biasanya, dia akan banyak bercerita dengan Raka. Namun, semenjak kehadiran Sekar dalam hidup Raka, Angsana memang sengaja untuk membatasi kedekatannya pada Raka. Kali ini, dilangkahkan kakinya menuju ke cafe. Ingin juga dirinya mencoba kue-kue yang kata orang-orang di kantor enak itu. 

Seorang pelayan menyambutnya dengan ramah. Lalu mengatakan bahwa dirinya sudah ditunggu oleh teman-temannya. Angsana kebingungan, apa lagi ini, pikirnya. 

"Maaf mbak, tapi saya datang sendiri."

Pelayan itu kebingungan, lantas mengambil ponselnya, lalu mengamati Angsana dengan seksama. 

"Ada pesanan mbak?"

"Iya mbak, ini", kata pelayan itu sembari menunjukkan foto seorang wanita yang mengenakan kemeja pink yang hampir sama modelnya dengan Angsana.

Angsana menoleh ke sekitar. Dan tepat setelahnya, seorang wanita yang dimaksud di foto masuk. Angsana melihatnya sekilas, nampak wanita itu mempunyai struktur tulang rahang dan mata yang sama dengannya. Pantas saja pelayan ini salah mengira.

"Mbak, mungkin mbaknya yang itu yang dimaksud."

Pelayan tersebut lantas mendekati wanita yang dimaksud, dan benarlah. Sementara pelayan itu mengantar wanita tadi, Angsana berjalan mengambil meja di pojok, tempat favorit Angsana. Tak selang berapa lama, terdengar suara teriakan ulang tahun dari arah wanita yang tadi. Sangat ramai.

Angsana memperhatikannya dengan sedikit perasaan iri. Lusa adalah hari ulang tahunnya. Dan selama ini, tak pernah ada yang memberikannya kejutan seperti itu. Hanya Raka yang setia memberinya setangkai mawar merah setiap tahun. Angsana tersenyum sendiri dengan nasibnya. 

"Siapa juga yang butuh?" Katanya pada diri sendiri. 

Sore itu, Angsana ternggelam dalam kesendiriannya di tengah keramaian. Menikmati hari yang mengalir begitu saja. Dirinya tak pernah mengharapkan kejutan apapun. Namun, tak menampik pula, bahwa Seto dianggapnya sebagai sebuah kejutan manis. 

Hai....

Maaf, semalam aku sudah tidur.

Seto, aku nggak tahu harus membalasnya seperti apa. 

Aku senang. Sangat senang.

Tapi, aku takut akan mengecewakanmu.

--Angsana


Dikirim juga pesan balasan kepada Seto. Sesaat menghela nafas panjang, lalu meninggalkan cafe.

--**--

"Mbak Sana, ada paket. Tadi saya taruh di mejanya. Ciee mbak Sana." Kata Jupri ketika berpapasan dengannya di lobby kantor. Membuatnya bertanya-tanya.

Satu pot kecil dengan pita warna merah jambu. Tanaman bunga mawar ungu dengan 4 kuncup mawar dan 1 buah mawar setengah mekar.

"Yang bener aja?!", katanya sembari membaca kartu yang terlampir di sela daunnya.

Angsana langsung berlari mencari Raka. Pria yang dicarinya sedang berdiri sembari membawa setangkai mawar merah seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Happy birthday Angsanaku...."

"Aaa..makasih, tapi Raka sini!!", katanya sambil menarik pria itu ke dalam ruangannya. Tak peduli semua orang melihatnya.


Selamat ulang tahun, Angsana.

Sebetulnya aku ingin memberimu dunia dan seisinya,

namun saat ini belum bisa.

Semoga kado kecil ini bisa sedikit membuatmu tersenyum

di hari bahagiamu.

Selayaknya kamu selalu membuatku tersenyum mengingat senyummu.

Dimas


Raka membaca berulang-ulang ucapan pada kartu terlampir, "Hah!"

"Raka, ini Applause! Mawar biru Applause dari Jepang!!!", kata Angsana sambil menunjukkan logo brand yang terlampir. 

"Emang kenapa?"

"Duh, mahal lho. Ini nggak ada di Indonesia. Itu artinya, si Dimas ini mesen langsung dari Jepang?"

Raka melongo. Lebih penasaran lagi tentang siapa itu Dimas. Angsana duduk di atas mejanya sembari memegang kepalanya. 

"Aku bahkan nggak pernah ketemu dia, Raka. Dua hari yang lalu, dia nitipin baju ke ibunya. Gimana aku nggak jantungan?"

"Kamu pernah ketemu di mana gitu terus nggak sadar dia terpikat?"

"Nggak ada!! Apalagi anaknya seorang Ratna Arum Miranti. Itu tuh pergaulan yang tinggi banget nggak sih? Ketemu papasan sekali aja mungkin jadi sebuah keberuntungan, apalagi kenalan? Rasanya aku nggaks eberuntung itu juga kali. Ini pasti salah orang!"

"Ada gitu yang namanya Angsana yang lain?"

"Ya adalah pasti. Kayak yang namanya Raka cuma kamu seorang apa?"

Angsana mendengus kesal. Bukan karena apa, Dimas telah mengusik ketenangannya beberapa hari terakhir ini. 

"Aku kayak dimata-matai."

Raka menenangkan Angsana, dan memintanya untuk menunda pembicaraan ini ketika sudah pulang kerja. Angsana menurut. 

--**--


Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang