01.3

1.2K 91 3
                                    

"Whoa!! Mbak Sana!!" teriak Seto kaget ketika memasuki pantry melihat Angsana tiduran di sofa pantry, "Kenapa mbak?"

"Ngantuk, Set. Habis survey diajak makan sop buntut, kekenyangan"

Raka memang sangat royal terhadap Angsana. Dia tak segan mentraktir banyak. Tak jarang pula dia tiba-tiba muncul di rumah Angsana akhir pekan membawakan martabak atau makanan lain. Dan saat dia mentraktir, Angsana selalu saja kewalahan untuk menghabiskan makanannya.

"Makan Sana, makan yang banyak. Kamu itu badan koq kurus banget. Kayak orang nggak bahagia aja. Cewek itu kalau badannya berisi, itu tandanya dia bahagia. Enak dilihat, bikin cowok tertarik untuk dekat. Tapi jangan gemuk-gemuk, terlalu bahagia itu namanya. Kita cowok yang susah ngasih makannya. Nggak cukup-cukup soalnya." Begitu terus ceramah Raka setiap kali makan dengan Angsana.

Seto terkekeh sembari berjalan ke arah rak, membiarkan Angsana tiduran sambil menutupi wajah dengan tangannya.

Sesaat memandang Angsana, Seto terdiam sejenak,  lalu meracik sesuatu.

"Mbak Sana, ini es cappuchino, biar nggak ngantuk dan tetap segar."

Angsana membuka wajahnya dan bangkit dari sofa. 

"Waaah, makasih banyak Seto.", sambar Angsana sambil menyeruput es buatan Seto.

Seto adalah Office Boy (OB) yang baru bekerja 3 bulan. Selain cekatan, pribadinya sopan dan rapi tidak seperti OB yang lain yang kadang nampak selengekan. Oleh karena itu, dia adalah OB favorit pekerja di kantor dalam waktu yang cepat. 

Seto menarik kursi dan duduk di depan Angsana dengan bersandar pada sandaran kursinya. Memperhatikannya meminum es buatannya seperti orang kehausan.

"Haus apa doyan mbak?"

Giliran Angsana yang terkekeh.

"Dengan mas Budi mbak?"

Angsana hampir tersedak mendengar pertanyaan Seto.

"Raka, Set. Raka."

"Oh, mas Raka. Mbak Sana tapi nggak emosional gitu ya pergi survey sama mas Raka?"

Angsana menggelengkan kepalanya. Dia heran, apakah sepedas itu ucapan Raka pada yang lain sehingga Seto si OB baru pun tahu akan hal itu.

"Raka baik koq, Set."

"Tapi kemaren ribut sama mas Agung, loh, sampai mau pukul-pukulan."

Angsana terdiam. Hanya tersenyum.

Dia tahu, Raka tidak suka dengan Agung bukan karena masalah pekerjaan. Melainkan kedekatan dengan Sekar Kinanti, kekasihnya. Wajar saja.

Sekar adalah wanita tercantik di kantor. Selain itu, dia adalah orang di balik sebagian besar desain produk-produk dari kantor. Wajar saja jika hampir semua pria menaruh hati padanya. Namun semua kecewa saat dia memilih untuk menerima cinta Raka. 

"Kapan-kapan pengen deh pergi survey dengan mas Budi, ya"

"Ga ada kesempatan, mbak?"

Angsana memandang mata Seto, "ketat", kemudian mereka tertawa.

Sesaat kemudian,  Angsana berhenti tertawa hingga Seto menengok ke belakang dan melihat kemunculan Budi.

"Ah benar disini. Sana, aku perlu data gudang minggu lalu, boleh?"

Angsana mendadak mematung tak bisa bergerak, tertawan dengan pesona Budi kala itu yang berjas rapi dengan wangi parfumnya yang maskulin.

"Boleh"

"Duh, tapi aku ga ada cukup waktu buat ngolahnya nih, masih harus nyusun yang lain. Sana, tolong bantu aku donk, please..."

"I..iya nggak apa, nanti aku olahkan sekalian. Apa aja yang dibutuhin?"

"Itu aja koq, presentase, perbandingan dengan yang sebelumnya, selisih margin, sama sisa barang yang dikembalikan, gapapa kan?"

"Gapapa, emmm...buat kapan?"

"Besok pagi Sana..., dadakan banget ya? Maaf ya..."

"Gapapa, aku kerjain nanti."

"Makasih banyak, Sana, kamu emang the best banget. Aku balik dulu ya, masih ada kerjaan. Thank you sana. Yuk , Set"

Angsana memandangi Budi hingga menghilang dari balik pintu pantry

"Emm..makasih banyak esnya Seto, aku balik kerja dulu."

Seto hanya mengangguk sambil mengibaskan lap di meja. Lantas memandangi Angsana hingga keluar. Tanpa senyuman. Berusaha menahan panas di dada agar tidak keluar.

Seto tidak suka dengan Budi. Beberapa kali dia memergoki Budi sedang merayu banyak pekerja wanita untuk melakukan banyak tugas yang seharusnya dia kerjakan. Dengan dalih dia sedang sibuk melakukan tugasnya. Lalu Seto melihat sendiri Budi hanya ngobrol dan bercanda dengan teman-temannya, sembari menunggu wanita-wanita itu mengirimkan apa yang dia minta. Tapi lihat, siapa yang dipuji? Budi.

Tak jarang Seto kesal sendiri sekembalinya dari mengantarkan minuman ke divisi Budi. Melampiaskan kekesalannya pada rekan OB di pantry.

"Kampret!", kata Seto setelah memasuki pantry sambil melempar lapnya pada suatu hari.

"Bocah ngapa?", tanya Jupri, rekan OB yang bekerja di shift yang sama.

"Itu si Budi bangsat banget! Ngomong sama mbak Tania memohon-mohon buat ngerjain tugasnya, ngakunya lagi sibuk ngerjain presentasi, taunya ngakak-ngakak di rooftop!!" 

"Orang tampan mah sesuka dia aja mau ngapain, To."

"Ya tapi ga gitu juga kan, Jup. Itu tugas dia, tanggung jawab dia. Jangan mentang-mentang itu cewek suka sama dia jadi dimanfaatin untuk kepentingan dia sendiri.  Nonsense!!"

"Lagu lo kayak pekerja kantoran pake sok inggris segala ah. Kita mah OB, To. Mau si  Budi kayak gitu juga apa yang kita bisa? Gaji dia lebih tinggi dari kita. Posisi dia lebih tinggi dari kita. Se-enggak suka nya lo sama doi, lo bisa apa, To? Nggak ada. Jadi udah biarin aja. Kita mah tinggal senyum manis antar kopi, beliin pesanan, terima gaji, hepi."

Seto terdiam menghela nafas. Perkataan Jupri ada benarnya. Dia hanya seorang OB yang posisinya adalah yang paling bawah. Dia tidak punya hak untuk menegur siapapun.

Karenanya, dia hanya memendam rasa ketidak-sukaannya pada Budi.

Seto mengela nafas kembali. Dia tahu, Angsana pasti akan lembur malam ini. 





Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang